Jakarta, MK Online - Reformasi politik di Indonesia pada 1998 meniscayakan reformasi terhadap konstitusi. Karena konstitusi merupakan landasan dasar negara yang menentukan desain dan praktik penyelenggaraan negara, termasuk politik. Oleh sebab itu, reformasi mensyaratkan penyempurnaan terhadap materi muatan konstitusi.
”Salah satu alasan kuatnya ialah UUD 1945 yang berlaku saat itu, dinilai terlalu banyak celah dan kelemahan sehingga dipandang tidak dapat lagi dijadikan sandaran membangun Indonesia yang lebih demokratis. Atas dasar itu, reformasi konstitusi ditempuh sebagai agenda utama mengawali proses reformasi di Indonesia,” ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sebagai Pembicara dalam Sesi Pleno Kedua The International Symposium on Constitutional Democratic State bertemakan Negara Demokrasi Konstitusional (Constitutional Democratic State) di Hotel Shangrila Jakarta, Senin (11/7).
Lebih lanjut Mahfud mengutarakan latar belakang dibentuknya MK. Bahwa MK dibentuk sebagai konsekuensi dari kehendak mewujudkan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dalam konteks negara demokrasi, mungkin saja terjadi hukum yang dibentuk melalui mekanisme demokratis akan tetapi substansinya bertentangan dengan demokrasi, yang artinya bertentangan pula dengan konstitusi.
Latar belakang lainnya dibentuk MK, karena Perubahan UUD 1945 mengimplikasikan pergeseran dan perubahan relasi kekuasaan negara dari distribution of power system ke separation of powers system dalam kerangka mekanisme checks and balances. Pergeseran relasi tersebut memungkinkan terjadinya konflik atau sengketa kewenangan antar lembaga negara.
”Namun sesungguhnya bukan hanya perubahan relasi saja penyebabnya, sebab banyaknya jumlah lembaga negara yang baru dibentuk berdasarkan UUD 1945 membuka potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Mengingat kedudukan lembaga-lembaga negara tersebut sederajat, maka diperlukan lembaga yang memiliki fungsi dan kewenangan menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga-lembaga negara tersebut,” urai Mahfud.
Pembicara lainnya, Ketua MPR Taufiq Kiemas memaparkan reformasi konstitusi merupakan satu agenda reformasi sebagai bagian dari upaya bangsa dalam melakukan penataan konsep kenegaraan menuju terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis dan konstitusional.
“Implikasi mendasar reformasi konstitusi adalah penegasan paham kedaulatan rakyat yang tidak lagi dilaksanakan secara terpusat oleh satu lembaga negara di MPR. Tetapi oleh lembaga-lembaga negara, sesuai dengan tugas dan kewenangannya yang diatur dalam UUD 1945,” jelas Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin yang membacakan makalah Ketua MPR.
Demokrasi adalah pekerjaan yang sedang dan terus berjalan serta tidak pernah selesai secara sempurna. Oleh sebab itu, semua sistem demokrasi, apa pun bentuk kematangan maupun kesempurnaannya membutuhkan upaya reformasi yang berkesinambungan. Dalam konteks perkembangan demokrasi, reformasi konstitusi menjadi lompatan besar dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Karena telah melahirkan konstitusi yang memiliki konsep dasar yang bertumpu pada kedaulatan rakyat dan meletakkan konstitusi dalam tingkatan tertinggi sebagai hukum dasar negara.
“Negara demokrasi konstitusional hanya akan terwujud apabila penyelenggara negara, yang dalam hal ini diejewantahkan melalui pelaksanaan tugas dan wewenang berbagai lembaga negara mampu memberikan konsistensi dan keteladanan akan pelaksanaan 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Lukman. Seperti diketahui, empat pilar tersebut adalah UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sedangkan Ketua DPR Marzuki Alie menyampaikan, penguatan nilai-nilai demokrasi dalam pelaksanaan tiga fungsi DPR - membentuk peraturan perundang-undangan, membahas anggaran, melaksanakan fungsi pengawasan - dilakukan dengan cara membuka ruang partisipasi publik. Keterlibatan publik sangat penting, baik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, proses pembahasan anggaran maupun pelaksanaan fungsi pengawasan.
“Partisipasi publik dalam pelaksanaan ketiga fungsi DPR harus dipandang sebagai suatu proses interaksi, relasi dan kebersamaan yang melibatkan berbagai pihak yang meliputi unsur-unsur pemerintah pusat dan daerah, lembaga suprastruktur, infrastruktur, akademisi, lembaga sosial masyarakat dan sebagainya,” papar Marzuki.
Selanjutnya Ketua DPR Irman Gusman menjelaskan, Simposium MK Internasional memiliki relevansi yang kuat dengan perkembangan kehidupan politik di Indonesia. Sejak reformasi 1998, suatu era yang dinamakan dengan transisi kekuasaan dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi, “Perkembangan kehidupan politik Indonesia memang sedang mengarah pada suatu proses konsolidasi sistem ketatanegaraan konstitusional yang demokratis,” tandas Irman. (Nano Tresna A./mh)