Jakarta, MKOnline - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD membantah adanya kasus surat palsu lain, selain kasus surat palsu yang sedang ditangani Panja Mafia Pemilu DPR dan Polri. Bantahan ini disampaikan Mahfud dalam jumpa wartawan mengenai dugaan surat palsu yang dilaporkan oleh 16 caleg tak terpilih pada Selasa (5/7), di Ruang Delegasi MK.
“Terkait dengan isu surat palsu, saya nyatakan bahwa di MK tidak ada lagi kasus surat palsu. Kasus surat palsu hanya satu yang ditangani oleh Panja DPR dan Polri yang sudah sampai pada gelar perkara. Namun belakangan ini muncul isu surat yang dikeluarkan oleh Pak Mukhtie
Fadjar (Mantan Wakil Ketua MK, red.). Surat itu tidak palsu. Benar ada. Tetapi implementasi bukan wewenang MK baik soal putusan maupun surat penjelasan. Tapi surat yang dibuat oleh Pak Mukhtie itu asli. Tidak ada konspirasi. Tidak ada mafia. Itu resmi yang disepakati dalam
Rapat Permusyawaratan Hakim. Di sini saya sampaikan bahwa surat itu memang benar dan dan resmi,” ujar Mahfud.
Menambahkan keterangan Mahfud, Juru Bicara MK M. Akil Mochtar juga membantah keras mengenai dugaan Mantan Wakil Ketua MK Abdul Mukthie Fadjar terlibat dalam mafia pemilu berkaitan dengan surat MK yang menjelaskan mengenai delapan tahap penetapan penghitungan kursi tahap III. Menurut Akil, Surat MK bernomor 1362/PHPU/2009 tertanggal 26 Agustus 2009 yang dibuat oleh Mukthie merupakan surat resmi MK untuk menjawab surat KPU tertanggal 30 Juni 2009. Dalam Putusan MK Nomor Nomor 74 –80 – 94 – 59 – 67 /PHPU.C-VII/2009 yang diajukan oleh PAN, PPP, PKB, Golkar, dan Gerindra, Mahkamah memberi tafsir Pasal 205 ayat (5), (6), dan (7) tentang penetapan kursi tahap ketiga. Kemudian, lanjut Akil, Mahkamah menetapkan 8 tahap untuk penetapan kursi tahap ketiga.
“Jadi, ini bukan tentang orang (caleg). Terhadap delapan tahap itu, KPU mengirim surat 30 Juni 2009. Surat itu menyebutkan perlunya pengecekan intensif agar tidak terjadi kekeliruan. Ada kekhawatiran pola penghitungan yang ditetapkan KPU tidak sesuai dengan putusan MK dan perlu konfirmasi. Jika dimungkinkan, perlu pengumuman ke media nasional atau di daerah pemilihan. Terhadap itu KPU menentukan dua model yang akan diitetapkan sebagai implementasi putusan MK. MK menjawab melalui Wakil Ketua Saat itu, Abdul Mukthie Fadjar, melalui Surat MK Nomor 1362/PHPU/2009 tertanggal 26 Agustus 2009,” papar Akil.
Dalam surat yang dikirim KPU, terang Akil, KPU mempertanyakan amar putusan MK mengenai delapan tahapan penetapan kursi tahap ketiga khususnya angka 6. Mukthie, menurut Akil, menjawab (dalam surat MK, red.) untuk penerapan angka 5 dan 6 sesuai dengan pendapat Mahkamah seperti yang diungkapkan pada halaman 1 surat KPU kepada MK. Menurut Akil, dalam amar putusan MK angka 5 membahas mengenai kursi dengan menyebutkan ‘Kursi hasil perhitungan tahap III harus dialokasikan kepada daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi’. Sedangkan, yang kedua, pada angka 6 menyebutkan ‘Calon anggota DPR yang berhak atas kursi adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi, yang dicalonkan oleh partai politik yang berhak atas sisa kursi’.
“Yang dipersoalkan sekarang (jawabannya) ada pada angka 3 yang menyatakan ‘Seluruh sisa suara sah partai politik yaitu suara yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan tahap II dari seluruh daerah pemilihan provinsi dijumlahkan untuk dibagi dengan jumlah sisa kursi dari seluruh daerah pemilihan provinsi yang belum teralokasikan untuk mendapatkan angka BPP yang baru’. Putusan (MK) harus dibaca utuh. Tidak ada satupun yang salah dalam surat ini (Surat MK) dan tidak ada satupun yang dipalsukan dalam surat ini,” terangnya.
Menanggapi klaim 16 caleg tidak terpilih yang mengatakan bahwa KPU menetapkan berdasarkan surat MK tersebut, Akil menjawab wewenang implementasi sepenuhnya dilakukan oleh KPU, bukan urusan MK. Menurut Akil, wewenang MK hanya sampai pada memberikan pedoman atas tafsir Pasal 205 ayat (5), (6), dan (7) mengenai penetapan kursi tahap ketiga. “Itu (implementasi) ‘kan bukan urusan MK karena memang (surat) sudah sesuai dengan putusan MK. Persoalan dapat atau tidak dapat bukan urusan MK. Putusan MK ataupun surat dari MK tidak pernah menyebutkan nama, daerah, dan kursi siapa. Itu tidak ada. Ini harus dipahami. Jadi, seakan-akan Pak Mukthie itu adalah bagian dari mafia pemilu dengan keluarnya surat ini. Itu bohong. Kami tegaskan bahwa Pak Mukthie membuat surat itu atas nama MK dan diputuskan dalam RPH sebelum dijawab oleh Pak Mukthie. Pak Mukthie tidak melakukan
kesalahan apapun,” tegasnya.
Sedangkan mengenai permintaan 16 caleg tersebut agar MK mengeluarkan surat rekomendasi kepada Panja Mafia Pemilu DPR, Akil menolak untuk membuat surat rekomendasi tersebut. “Mereka yang kalah datang pada saya dan mengatakan sudah menempuh jalur hukum lain, seperti ke PTUN, namun kalah. Lalu saya katakan, laporkan saja ke Panja dan mereka bilang kalau Panja sudah tidak mau menerima. Mereka minta agar MK membuat surat kepada Panja itu sesuatu yang tidak mungkin karena tidak ada masalah. Mereka yang menganggap ada masalah secara sepihak, padahal KPU pun belum dikonfirmasi,” tandas Akil. (Lulu Anjarsari/mh)