Jakarta, MKonline - Tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah keadilan (justice), ketertiban (order) dan perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan dan kebebasan (freedom) dan kemakmuran atau kesejahteraan (prosperity and welfare) bersama. Demokrasi harus berkembang tetap mendasarkan hukum, karena tanpa hukum justru demokrasi akan berjalan ke arah keliru.
“Sebagaimana diwujudkan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the founding leaders) atau para perumus UUD (the farmers of the constitution) seperti diungkapkan Prof. Jimly Asshiddiqie dalam buku ‘Konstitusi Ekonomi’,” ungkap Hakim Konstitusi H.M. Akil Mochtar kepada segenap mahasiswa FH Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai (Saburai) Bandar Lampung yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/6) pagi.
Akil melanjutkan, demokrasi yang diidealkan haruslah diletakkan tetap dalam koridor hukum. Tanpa hukum, demokrasi justru dapat berkembang ke arah yang keliru karena hukum dapat ditafsirkan secara sepihak oleh penguasaan atas nama demokrasi.
“Karena itulah berkembang konsepsi mengenai demokrasi yang berdasarkan hukum (constitutional democracy) yang lazim dipakai dalam perbincangan mengenai konsep modern tentang ‘constitutional state’ yang dianggap ideal masa sekarang,” jelas Akil yang didampingi Rektor Universitas Saburai Bandar Lampung, Nanang Iskandar Fauzie.
Lebih jauh Akil mengutarakan, keinginan mewujudkan pemerintahan yang demokratis dengan mekanisme check and balance, setara dan seimbang antara cabang-cabang kekuasaan negara, terwujudnya supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin, melindungi dan terpenuhinya hak asasi manusia, telah tertata dengan cukup baik dalam UUD 1945 hasil amandemen yang dilakukan pada 1999-2002.
“Amandemen UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan UUD 1945 sebelum amandemen, karena dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam praktik ketatanegaraan dan mekanisme check and balance yang belum tertata dengan baik. Hal ini disebabkan penerapan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) tidak dilakukan secara benar,” urai Akil.
Dalam konteks dunia, ujar Akil, keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-29 di Austria, sebagai negara pertama yang memiliki organ penjamin konstitusi dengan nomenklatur Mahkamah Konstitusi. Organ ini diusulkan oleh Prof. Hans Kelsen ketika diberi tugas mendesain konstitusi demokratis Austria sekitar 1919.
Saat ini Indonesia adalah negara ke-78 yang memiliki Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi di berbagai negara, paling tidak dilatar belakangi oleh empat hal. Hal pertama, sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme. Kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara dan sehubungan dengan itu hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya.
Hal kedua yang menjadi latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi di berbagai negara, adalah mekanisme check and balance atas separation of power. Pelaksanaan prinsip check and balance diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antara kewenangan yang ada. Sedangkan hal ketiga adalah penyelenggaraan negara yang bersih (clean government). Kemudian hal keempat yang menjadi latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi, adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). (Nano Tresna A./mh)