Jakarta, MKOnline - Pemohon dalam perkara nomor 33/PUU-IX/2011 mengaku telah memperbaiki permohonannya. Menurut salah satu kuasa Pemohon, Catur Agus Saptono, pihaknya telah memperbaiki permohonan terutama pada bagian alasan permohonan serta penambahan beberapa aturan lainnya yang bersifat konkrit. Demikian dinyatakan dalam sidang perbaikan permohonan, Senin (27/6) di ruang sidang Panel MK.
Para Pemohon prinsipal dalam perkara ini adalah 1. Perkumpulan Institut Keadilan Sosial; 2. Perkumpulan INFID; 3. Aliansi Petani Indonesia; 4. Serikat Petani Indonesia; 5. Perkumpulan KIARA; 6. Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia; 7. Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat; 8. Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil; 9. Salamuddin; 10. Dani Setiawan; dan 11. Haris Rusly. Tampak hadir dalam persidangan, Haris Rusly dan Salamuddin.
Dalam permohonannya, para Pemohon menguji Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n Undang-Undang No. 38/2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nation (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara). Menurut Pemohon, rumusan dalam UU tersebut telah merugikan hak konstitusional mereka. Bahkan, mereka menilai, rumusan itu juga telah merugikan rakyat Indonesia, terutama dari segi ekonomi.
Menurut Catur, pada dasarnya, ASEAN dibentuk untuk menolak imperialisme. Namun, jika dikaji lebih lanjut isi dari piagam tersebut, semangat yang terbangun malah bertolak belakang dari tujuan itu. “Regionalisme ASEAN adalah alat penjajahan baru,” tegasnya.
“Adanya fakta terjadinya pelanggaran kedaulatan negara. Pelanggaran Undang-Undang Dasar 1945 dan kerugian hak-hak ekonomi rakyat,” ungkap kuasa Pemohon, Ahmad Saryono, menambahkan alasan pengujian. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh adanya Asian Free Trade Agreement (AFTA) serta keberadaan Piagam ASEAN yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Ia menyatakan kesimpulan ini didasarkan pada sejumlah penelitian.
Namun, Ketua Panel Hakim, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, berpendapat, meskipun permohonan telah diperbaiki, Pemohon belum menguraikan secara baik legal standing-nya (kedudukan hukum). Menurutnya, Pemohon belum memaparkan secara jelas kerugian konstitusional serta konflik norma yang terjadi. Terutama antara norma dalam UU dengan pasal-pasal dalam UUD 1945. Meskipun ada, kata Hamdan, hal itu tidak tersusun secara sistematis. “Ada tapi bertebaran dimana-mana,” ungkapnya. (Dodi/mh)