Jakarta, MKOnline - Masyarakat harus paham dan sadar mengenai konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara Indonesia. Diharapkan dengan materi konstitusi yang diberikan pada acara ini dapat disebarluaskan kepada masyarakat. Demikian harapan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar ketika menutup temu wicara antara MK dengan Yayasan Puan Amal Hayati pada Minggu (26/6).
"Melalui temu wicara ini, diharapkan para aktivis perempuan dari Yayasan Puan Amal Hayati dapat ikut serta menyebarkan materi tentang konstitusi yang diperoleh kepada masyarakat. Ke depannya, akan semakin banyak masyarakat yang paham dan sadar berkonstitusi. Dengan begitu, konstitusi kita akan menjadi konstitusi hidup (living constitution). Bukan hanya sekadar tulisan indah yang tercantum dalam buku tanpa makna," urai Janedjri di hadapan aktivis perempuan dari Yayasan Puan Amal Hayati di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Janedjri pun meminta bantuan kepada masyarakat untuk membantu menjaga MK dari mafia peradilan yang mulai menyerang. Menurut Janedjri, MK sebagai lembaga yang lahir dari perubahan UUD 1945, adalah lembaga yang tinggi, namun kecil. "Tinggi berarti MK mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti presiden, DPR, MPR, DPD, MA, dan BPK. Sementara, 'kecil' mengandung arti bahwa MK hanya terletak di ibukota negara, Jakarta. Padahal rakyat Indonesia hidup dari Sabang sampai Merauke. MK tidak mungkin menjalankan fungsi dan kewenangannya tanpa bantuan masyarakat. Salah satu caranya melalui kegiatan temu wicara," paparnya.
Dalam kesempatan itu, Janedjri yang juga menjadi narasumber sesi terakhir, mengungkapkan bahwa kewenangan MK yang paling rawan disusupi mafia peradilan adalah kewenangan menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah. Janedjri menjelaskan banyak pihak yang tak bertanggung jawab mengaku-ngaku sebagai pegawai MK ataupun mengenal hakim konstitusi yang menjanjikan kemenangan pada pihak yang berperkara di MK. "Sampai saat ini, putusan MK masih steril dari mafia peradilan. Namun jika MK diibaratkan batu yang ditetesi air, tidak menutup kemungkinan batu itu akan tembus. Untuk itulah, masyarakat harus membantu menjaga MK. Jangan hanya dibebankan kepada MK," ujarnya.
MK, lanjut Janedjri, tetap berusaha untuk menegakkan keadilan tanpa terlalu terikat dengan hukum prosedural. Hukum prosedural, menurut Janedjri, berarti hakim menjadi corong undang-undang, sementara MK tidak melakukan hal tersebut. "MK banyak melakukan terobosan hukum, di antaranya dalam menyelesaikan sengketa pemilukada. Dalam UU Nomor 32/2004, MK hanya terbatas menyelesaikan hasil penghitungan suara. Namun selanjutnya, ketika MK menemukan adanya pelanggaran terstruktur, masif dan sistematis, maka MK akan menabrak norma hukum. Semua itu untuk menegakkan keadilan substantif dengan tetap berpedoman terhadap konstitusi," katanya.
Temu wicara yang mengangkat tema mengenai "Peningkatan Pemahaman Berkonstitusi dan Hukum Acara MK" juga diisi oleh beberapa narasumber. Narasumber tersebut, di antaranya Hakim Konstitusi Harjono, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Hakim Konstitusi Anwar Usman serta Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva. Para narasumber mengangkat pokok bahasan, di antaranya Sistem Ketatanegaraan RI pascaperubahan UUD 1945 dan memahami UUD 1945 sebagai penjabaran Pancasila, Hukum Acara Pengujian UU dan Peran Organisasi Perempuan dalam Penegakan Konstitusi untuk Pemenuhan Hak-Hak Sipil Perempuan, Hukum Acara dan Studi Kasus Perselisihan Hasil Pilpres, Pileg dan Pemilukada, Hukum Acara Pembubaran Partai Politik dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, serta Hukum Acara Kewenangan Memutus Pendapat DPR tentang Dugaan Pelanggaran Hukum oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Dalam sesi ketiga yang berlangsung pada Sabtu (25/6), Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mengatakan bahwa MK sedang diobok-obok melalui revisi UU MK. Menurut Akil, hal tersebut terjadi karena MK tidak dapat ditekan oleh siapapun. "MK tidak dapat ditekan oleh partai politik. Oleh karena itu, banyak yang meminta agar penanganan sengketa pemilukada dikembalikan kepada Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri," ujarnya. (Lulu Anjarsari/mh)