Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perkara PHPU Kabupaten Nduga, Kamis (23/6). Sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD itu beragendakan mendengarkan jawaban dari Termohon (KPU Kabupaten Nduga). Termohon dalam jawabanya membantah seluruh dalil yang diajukan Pemohon Perkara No. 74/PHPU.D-IX/2011, No. 75/PHPU.D-IX/2011, dan No. 76/PHPU.D-IX/2011 ini.
Kuasa hukum KPU Kabupaten Nduga, Budi Setianto mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan jawabannya. Terkait penggelembungan DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang dituduhkan Pemohon kepada KPU Kab. Nduga, Budi mengatakan, tuduhan tersebut tidak benar. Budi kemudian menjelaskan kronologi terkait permasalahan DPT dihadapan Panel Hakim yang beranggotakan dua hakim konstitusi, Anwar Usman dan Maria Farida Indrati.
Awalnya, KPU menerima DPS (Daftar Pemilih Sementara) dari Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten Nduga, tepatnya dari Dinas Kependudukan Kab. Nduga pada tanggal 10 Agustus 2010. DPS yang diterima KPU Kab. Nduga saat itu sebanyak 53.701 orang. Setelah dilakukan pemukhtairan oleh KPU, ternyata ada penambahan 90 ribu orang pemilih. ”Itu (jumlah pemilih setelah dimukhtahirkan, red) tidak masuk akal karena jumlah penduduk Kabupaten Nduga saja hanya 120 ribu jiwa dan dalam waktu yang singkat tidak mungkin jumlah pemilih bertambah dengan cepat dan banyak,” ujar Budi.
Karena daftar pemilih setelah dimukhtahirkan tidak masuk akal, akhirnya yang dipakai sebagai DPT adalah daftar pemilih sementara yang diberikan Dinas Kependudukan Kab. Nduga. Menurut Budi, daftar pemilih yang diberikan oleh Dinas Kependudukan Kab. Nduga didapat dari data di kampung-kampung dan RT-RT se-Kab. Nduga.
Saat akhirnya daftar pemilih yang diberikan Pemda Kab. Nduga ditetapkan sebagai DPT, menurut Budi, semua pasangan calon setuju dan tidak ada yang menyampaikan keberatan. Bahkan, selama rangkaian Pemilukada Kab. Nduga berlangsung tidak ada yang mempermasalahkan DPT tersebut. “Masing-masing pasangan calon, Panwas, dan masyarakat tidak ada yang mempermasalahkan. Untuk itu, sangat berlebihan kalau para Pemohon baru mempermasalahkan soal DPT di MK saat ini,” tegasnya.
Selanjutnya, terkait dengan putusan KPU yang dinyatakan oleh ketiga Pemohon telah cacat prosedural, Termohon mengatakan dalil Pemohon tersebut “aneh”. Pasalnya, Pemohon menggunakan dasar hukum yang sudah tidak berlaku untuk menggugat Termohon terkait rekapitulasi hasil perhitungan suara.
Menurut Budi, soal rekapitulasi perhitungan suara dan sebagainya bukan diatur dalam Peraturan KPU No. 73 Tahun 2009, tetapi diatur dalam Peraturan KPU No 16 Tahun 2010 tentang Pedoman, Tata Cara Rekapitulasi dan lainnya. “Dengan demikian yang mengandung cacat prosedural bukan Termohon, melainkan Pemohon. Karena telah mendasarkan pada peraturan yang sudah tidak berlaku lagi, Temohon tidak perlu lagi menjawab atau menanggapinya,” tukas Budi.
Di akhir sidang, Mahfud mengingatkan sidang akan dilanjutkan pukul 14.00, Senin (27/6). Untuk sidang selanjutnya, para saksi yang diajukan Pihak Pemohon, Pihak Termohon, dan Pihak Terkait dapat dihadirkan menggunakan fasilitas video conference (vicon). Para saksi cukup hadir di Universitas Cendrawasih (Uncen). ”Besok kami tunggu mau menggunakan Vicon atau tidak, tapi jangan mendadak senin baru minta menggunakan Vicon, kami nggak bisa,” ingat Mahfud (Yusti Nurul Agustin/mh)