Jakarta, MKOnline - Perusahaan bongkar muat (PBM) dapat terus berkembang dan eksis dengan kerja sama yang saling menguntungkan dengan terminal operator. Dalam kerja sama ini ada wasitnya, yaitu otoritas pelabuhan sebagai regulator di pelabuhan setempat. Selain itu, pasca berlakunya UU 17/2008 tentang Pelayaran, semua badan usaha pelabuhan termasuk PBM dapat meningkatkan statusnya menjadi terminal operator.
Keterangan ini disampaikan pemberi keterangan (ad informandum), Ir. Alfred Natsir yang diajukan Pemerintah (Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia IV Persero, di Makasar) pada sidang lanjutan pengujian UU 17/ 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (22/6), pukul 10.22 WIB. Kepaniteraan meregistrasi perkara ini dengan No. 74/PUU-VIII/2010. Sidang dihadiri Pemohon dan kuasanya, wakil Pemerintah, dan ahli/ saksi dari Pemerintah yang disidangkan oleh sembilan hakim konstitusi dengan Moh Mahfud MD sebagai Ketua Majelis.
Dalam keterangan yang disampaikan, terbitnya UU 17/ 2008 menggantikan UU 21/1992 merupakan reformasi penyelenggaraan pelabuhan di Indonesia. “Penyelenggaraan pelabuhan yang semula bentuknya operating port saja, dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 ini berubah menjadi operating port, tool port, dan, landlord port,” terangnya. Status PT Pelindo semula sebagai penyelenggara tunggal berubah menjadi salah satu terminal operator saja.
Alfred juga menjelaskan struktur pelabuhan di Indonesia dengan rinci. Praktik penyelenggaraan pelabuhan di dunia internasional, jelas Alfred dikenal tiga bentuk yang telah diakomodasi. Satu, operating port, apabila semua fasilitas pelabuhan disiapkan oleh penyelenggara pelabuhan dan sekaligus dioperasikan penyelenggara pelabuhan, seperti di pelabuhan di Singapura dan sebagainya. Kedua, tool port, yaitu apabila fasilitas dasar berupa kolam, dermaga, lapangan, dan utilitas disediakan oleh penyelenggara pelabuhan, sedangkan peralatan dan pengoperasinya dilakukan pihak lain yang disebut terminal operator seperti Port Klang di Malaysia, Yokohama di Jepang, dan Pelabuhan Hamburg di Jerman, dan lain-lain. Tiga, landlord port. Kecuali kolam pelabuhan, semua fasilitas pelabuhan disiapkan, dibangun oleh terminal operator dan sekaligus dioperasikan oleh terminal operator tersebut, seperti Pelabuhan Kobe di Jepang, Pelabuhan Hongkong di Cina, Pelabuhan Felixstowe di Inggris, dan lain-lain.
Di Indonesia, sebelumnya bentuk penyelenggaraan pelabuhan umum komersial berbentuk operating port saja dan PT Pelindo satu-satunya penyelenggaranya. “Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, bentuk penyelenggaraan pelabuhan umum komersial adalah landlord, dimana otoritas pelabuhan sebagai landlord atau penyelenggaranya. Sedangkan terminal operator adalah Badan Usaha Pelabuhan (BUP) dan PT Pelindo adalah salah satu BUP di antaranya,” lanjutnya.
PT Pelindo sekaligus terminal operator tunggal di tujuh pelabuhan umum komersial, sedangkan sebagai pelaksana pelayanan jasa bongkar muat oleh PT Pelindo bersama dengan perusahaan bongkar muat. “Karenanya, dalam satu pelabuhan, sudah dimungkinkan dibentuk lebih dari satu terminal operator. Sebagai konsekuensi logis dari perubahan tersebut, Perusahaan Bongkar Muat masih dapat melakukan kegiatan di dalam terminal umum, dengan terlebih dahulu melakukan kerja sama dengan terminal operator yang bersangkutan,” terangnya.
Pemerintah juga menghadirkan saksi, yakni Bay M. Hasani dari Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok. Ia mengatakan tidak adanya monopoli, tidak adanya diskriminasi, serta tidak adanya dominasi pelaksanaan kegiatan bongkar muat, khususnya di pelabuhan Tanjung Priok disebabkan adanya rambu-rambu yang dibuat pelaksana fungsi regulator di pelabuhan. “Adapun kekhawatiran dari Pihak PBM terkait dengan adanya konstribusi, hal ini adalah yang bersifat B to B, bersifat Business to Business, dimana tentunya hal ini dilaksanakan berasaskan dalam suatu kesepakatan antara PBM dengan pengelola terminal. Pelaksanaan bongkar muat barang oleh BOP itu sebagai konsekuensi logis juga dari adanya suatu peluang, sebagaimana diatur dalam Pasal 90 ayat (3) huruf g,” jelas saksi dari pemerintah ini.
Selain itu, Pemerintah juga menghadirkan ahli Ir. A. Sumardi, Huruf g UU, kata Sumardi, bongkar muat, jasa bongkar muat itu sulit dipisahkan dari terminal, karena ini satu-kesatuan investasi. Oleh karena itu, alangkah tepatnya, demi kemajuan masa depan menyatukan terminal ini dengan seluruh kegiatan bongkar muat sampai akhir delivery pemilik barang. Ahli Pemerintah lain, yaitu Hidayat Mao mengatakan Pasal 90 ayat (3) huruf g UU memberikan kesempatan PBM maupun BUP untuk melakukan kegiatan jasa bongkar-muat di pelabuhan, Pelindo lebih siap melaksanakan bongkar muat, dan Pemerintah juga perlu mengatur mengatur secara wajar mengenai peluang dan sebagainya.
Terkait Perairan
Pemohon juga menghadirkan Tommy Hendra Purwoko. Mandat PT Pelindo, kata Tommy tidak mencakup pengusahaan jasa bongkar muat barang yang merupakan bagian dari usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan yang merupakan mandat dari APBMI. “Yang Mulia, solusi yang kelihatan di sini adalah menyatakan Pasal 90 ayat (3) huruf g tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi melihat semua jasa-jasa yang ada di dalam Pasal 90 ayat (3), aneh terselip huruf g yang merupakan jasa angkutan terkait dengan perairan, angkutan di perairan. Yang lainnya adalah jasa kepelabuhanan, ya saya setuju, tapi huruf g bukan. Oleh karena itu kalau itu masih tetap di situ mau diberlakukan, ya tolong dibaca, ditafsirkan sebagai penyediaan dan/atau pelayanan jasa fasilitasi untuk memperlancar kegiatan bongkar muat barang,” jelas Tommy.
Untuk agenda berikutnya adalah pembacaan putusan. Moh Mahfud MD menyatakan kepada para pihak diberi waktu sampai dengan tanggal 4 Juli untuk menyampaikan kesimpulan akhir dari keseluruhan jalannya persidangan ini serta petitum yang akan diminta.
Perkara ini diajukan oleh Ketua Umum DPP APBMI Bambang K. Rahwandi, Sekretaris Umum DPP APBMI Arlen Sitompul, serta Kabid Org. Hukum dan Otoda APBMI M. Fuadi. Seperti disampaikan Andi Muhammad Asrun sebagai kuasanya, bahwa PT Pelindo (Persero) sebagai penyelenggara pelabuhan telah melakukan praktik monopoli kegiatan dengan memasukkan usaha bongkar muat barang sebagai salah satu segmen usaha yang terjadi di pelabuhan Cirebon, pelabuhan Cilacap, pelabuhan Gresik dan pelabuhan Tanjungpriok. Pemohon menguji Pasal 90 ayat (3) huruf g UU Pelayaran yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya. (Miftakhul Huda)