Jakarta, MKOnline - Kasus dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah sengketa hasil pemilu yang waktunya sudah kedaluarsa, melainkan perkara tindak pidana yang melanggar aturan pidana. Hal ini disampaikan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD ketika menghadiri rapat konsultasi dengan Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR, Selasa (21/6), di Gedung Nusantara II DPR.
“Tindakan tersebut sudah termasuk tindak pidana yang melanggar ketentuan pasal 263 dan Pasal 372 KUHP. Bawaslu pun sudah mengajukan keberatan terhadap KPU, namun Andi Nurpati mengabaikan. Tindak pidana penggelapan dan pemalsuan terjadi secara nyata. Apalagi Andi Nurpati secara sengaja mengabaikan dan meminta surat tertanggal 17 Agustus 2009 disimpan dalam arsip," urai Mahfud dengan didampingi Ketua Tim Investigasi MK yang sekaligus Mantan Wakil Ketua MK Abdul Mukthie Fadjar, Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar serta Panitera MK Kasianur Sidauruk.
Mahfud pun mengklarifikasi kasus dugaan pemalsuan surat MK ini dimunculkan untuk memojokkan perseorangan maupun partai politik tertentu. Menurut Mahfud, MK sudah diam selama 13 bulan semenjak pelaporan ke Polri yang dilakukan secara diam-diam pada 12 Februari 2010 lalu. “Pengungkapan kasus tersebut bukan dari MK, karena MK sudah melakukan kewajiban hukum dengan melapor ke Polri sejak 12 Februari 2011,” terangnya di hadapan Ketua Komisi II DPR RI Chaeruman Harahap dan dihadiri anggota Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR RI.
Dalam pertemuan yang merupakan tindak lanjut dari pertemuan Komisi III DPR dengan Bawaslu dan KPU, Mahfud membantah dirinya disebut sebagai whistle blower (peniup peluit) kasus dugaan pemalsuan surat MK ke masyarakat umum. Mahfud menjelaskan lembaga yang dipimpinya sudah menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut kepada Polri.
Dalam kesempatan itu pula, Mahfud menjelaskan kronologi sampainya surat palsu MK. "Surat yang asli dikirimkan pada tanggal 17 Agustus 2009 dengan Nomor 112/PAN.MK/VII/2009. Sedangkan surat palsu dikirimkan pada tanggal 14 Agustus 2009 dengan nomor yang sama. Surat asli sudah disampaikan dan diterima Andi Nurpati di JAKTV atas permintaannya. Surat tersebut dikirim bersamaan dengan surat Nomor 113/PAN.MK/VII/2009 yang dipergunakan oleh KPU dalam mengeluarkan SK KPU Nomor 379/kpts/KPU/2009," jelasnya.
Mahfud memaparkan, setelah membaca surat tersebut, Andi meminta agar surat tersebut diserahkan kepada supirnya yang bernama Aryo. "Ketika menerima surat tersebut, Andi tidak mempermasalahkan mengenai stempel pada surat tersebut. Barulah pada rapat koordinasi antara MK, KPU dan Bawaslu diungkapkan oleh Andi Nurpati. Sampai sekarang, surat yang dikatakan Andi tidak berstempel tersebut tidak pernah dikembalikan kepada MK. Jangankan dikembalikan, ditunjukkan saja tidak pernah," terangnya.
Dalam kesempatan itu pula, Mahfud mempertanyakan alasan KPU mempergunakan surat Nomor 113/PAN.MK/VII/2009, tetapi tidak mempergunakan surat Nomor 112/PAN.MK/VII/2009 untuk membuat surat keputusan. “Seandainya benar (quod non), surat tersebut tidak berstempel, kenapa justru malah dikalahkan dengan surat yang diterima KPU melalui faksimili. Setelah kami mengecek ke PT. Telkom, diketahui bahwa nomor faksimili yang dikatakan KPU sebagai nomor pengirim surat MK tersebut sudah tidak aktif sejak Juli 2009,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Tim Investigasi MK Abdul Mukthie Fadjar menyampaikan bahwa Tim Investigasi MK sudah memeriksa beberapa pihak dari internal MK yang terkait kasus tersebut. Mukthie menyebutkan beberapa nama, di antaranya Mantan Panitera MK Zainal Arifin Hoesein, Juru Panggil MK Masyhuri Hasan, Panitera Pengganti Pan Mohammad Faiz serta Nallom Kurniawan. “Untuk pihak internal tersebut, MK sudah menjatuhkan sanksi. Sementara untuk pihak luar, Tim Investigasi MK memiliki keterbatasan kewenangan, sehingga tidak memungkinkan untuk memeriksa Dewi Yasin Limpo dan Andi Nurpati,” paparnya.
Kronologi Pemalsuan Surat MK
Sekjen MK Janedjri M. Gaffar membuka kronologi pembuatan surat tertanggal 14 Agustus yang dilakukan oleh Juru Panggil MK Masyhuri Hasan yang diperoleh dari hasil penyelidikan Tim Investigasi MK. Menurut Janedjri, pada tanggal 14 Agustus 2009, Mantan Panitera MK Zainal Arifin Hoesein menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan mengenai Putusan MK Nomor 84/PHPU.C-VII/2009. Setelah meminta konfirmasi dari Andi Nurpati, Zainal membuat konsep surat balasan dengan Masyhuri Hasan yang mengetik konsep surat tersebut. “Pada hari berikutnya, Sabtu (15/8), Hasan datang ke kantor dengan alasan mempersiapkan persidangan untuk hari Senin. Di hari itu, Mantan Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi menelepon Panitera menanyakan perihal adanya kata ‘penambahan suara’ pada Putusan MK Nomor 84/2009. Panitera menyangkal adanya kata tersebut,” urai Janedjri.
Keesokan harinya, Minggu (16/8), Janedjri memaparkan, Hasan ditelepon oleh Nesha (putri Arsyad, red.) dan diminta untuk datang ke apartemen pejabat negara di Kemayoran, Jakarta dengan membawa kopi konsep surat balasan untuk KPU. Menurut pengakuan Hasan kepada Tim Investigasi MK, jelas Janedjri, ia tidak mengubah substansi konsep surat tersebut. “Konsep surat tersebut sebelumnya sudah diadministrasi sendiri oleh Hasan. Oleh karena itu, surat tertanggal 14 Agustus 2009 tersebut pada nomor suratnya tertulis dalam tulisan tangan. Kami pun membongkar perangkat komputer Hasan dan menemukan bahwa Hasan memiliki hasil scan tanda tangan Panitera MK. Di apartemen Arsyad, ternyata telah menunggu Ibu Dewi Yasin Limpo. Ibu Dewi pun memaksa bertemu dengan Panitera pada hari itu juga dan ditolak oleh Panitera. Ibu Dewi pun datang ke rumah Panitera di komplek Pegawai MK dan meminta agar dalam surat balasan KPU ditambahkan kata ‘penambahan suara’ dan tetap ditolak Panitera,” terangnya.
Pada Senin (17/8), Panitera MK Zainal Arifin Hoesein berkonsultasi dengan Ketua MK Moh. Mahfud MD mengenai surat balasan untuk KPU tertanggal 14 Agustus 2009. “Ketua MK memerintahkan agar disamakan dengan putusan MK tanpa ada kata ‘penambahan suara’. Pada hari itu juga, surat itu disampaikan ke KPU. Dikarenakan tidak adanya komisioner KPU dan atas usulan Ibu Andi Nurpati, surat tersebut diserahkan kepadanya di JAKTV. Namun, begitu menerima surat tersebut, Andi mengatakan ‘seharusnya tidak seperti ini’ dan ‘kalau tidak mengubah suara, kenapa dikabulkan?’ dan menolak menandatangani surat tanda terima. Ibu Andi meminta surat tersebut diserahkan kepada supirnya,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, Janedjri mengungkapkan, MK sudah juga memberi sanksi kepada pihak internal MK yang terkait. Misalkan saja, Masyhuri Hasan sudah diberhentikan dengan hormat dan pihak internal lain dengan sanksi pernyataan tidak puas dari Ketua MK dan sanksi disiplin. ”Saat itu, Hasan pun meminta ‘doa restu’ dan baru diketahui belakangan, Hasan diterima sebagai calon hakim untuk MA di Jayapura,” tandas Janedjri. (Lulu Anjarsari/mh)