Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No.27/2007). Demikian amar putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi enam orang hakim konstitusi pada Kamis (16/6). Perkara ini dimohonkan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KARA), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YBLHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Petani Indonesia (API), Tiharom, Waun, Wartaka, Carya bin Darja, dan Kadma.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, jika atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diberikan HP-3 kepada swasta, menurut Mahkamah hal itu potensial bahkan dapat dipastikan bagian terbesar wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil akan dikuasai oleh perseorangan atau perusahaan swasta dengan usaha padat modal dan teknologi tinggi. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya akses dan keleluasaan serta hilangnya pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah di perairan pesisir. Hamdan juga menerangkan meski Undang-Undang a quo memberikan jaminan pelibatan masyarakat dalam perencanaan zonasi wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, Mahkamah menilai partisipasi masyarakat tersebut tidak memadai untuk menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat, malahan justru potensial menyingkirkan hak-hak dan partisipasi aktif masyarakat dalam pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemberian HP-3 juga mengancam keberadaan hak-hak masyarakat tradisional dan kearifan masyarakat lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, karena menurut konsepsi Undang-Undang a quo, masyarakat tradisional yang secara turun temurun memiliki hak atas pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil akan diberikan HP-3, dan dapat menerima ganti rugi atas pemberian HP-3 kepada swasta berdasarkan kesepakatan musyawarah.
“Menurut Mahkamah, jelas konsep demikian, akan membatasi hak-hak tradisional masyarakat dalam batasan waktu tertentu menurut ketentuan pemberian HP-3 yaitu 20 tahun dan dapat diperpanjang. Konsep ini bertentangan dengan konsep hak ulayat dan hak-hak tradisional rakyat yang tidak bisa dibatasi karena dapat dinikmati secara turun temurun. Demikian juga mengenai konsep ganti kerugian terhadap masyarakat yang memiliki hak-hak tradisional atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan menghilangkan hak-hak tradisional rakyat yang seharusnya dinikmati secara turun temurun (just saving principle), karena dengan pemberian ganti kerugian maka hak tersebut hanya dinikmati oleh masyarakat penerima ganti kerugian pada saat itu. Hal itu juga bertentangan dengan prinsip hak-hak tradisional yang berlaku secara turun temurun, yang menurut Mahkamah bertentangan dengan jiwa Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Di samping itu, dengan konsep HP-3 dapat menghilangkan kesempatan bagi masyarakat adat dan masyarakat tradisional yang menggantungkan kehidupannya pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945,” jelas Hamdan.
Selain itu, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan Mahkamah berpendapat pemberian HP-3 melanggar prinsip demokrasi eknomi yang berdasar atas prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan. Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memberikan HP-3 akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP-3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Sebaliknya, lanjut Fadlil, bagi masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir. “Dalam kondisi yang demikian, negara telah lalai menyelenggarakan tanggung jawabnya untuk melaksanakan perekonomian nasional yang memberikan perlindungan dan keadilan kepada rakyat. Lebih dari itu, menurut Mahkamah, pemberian HP-3 akan melanggar prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945,” ujarnya.
Menurut Mahkamah, terang Fadlil, untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Di samping itu, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulai kecil tetap dapat dikelola secara terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan serta memberikan kepastian hukum,” terangnya.
Sedangkan mengenai Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang a quo setidaknya akan memunculkan dua masalah. Pertama, terjadi pembungkaman hak masyarakat untuk turut serta menyampaikan usulan, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan untuk menolak atau menerima rencana tersebut; Kedua, ketika sebuah kebijakan tidak didasarkan pada partisipasi publik, berpotensi besar terjadinya pelanggaran hak publik di kemudian hari yaitu diabaikannya hak-hak masyarakat yang melekat pada wilayah yang bersangkutan, padahal masyarakat setempatlah yang mengetahui dan memahami kondisi wilayah. “Menurut Mahkamah penyampaian usulan yang hanya melibatkan pemerintah dan dunia usaha ini merupakan sebuah bentuk perlakuan berbeda antar warga negara (unequal treatment) dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,” papar Fadlil.
Fadlil menjelaskan, guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum atas pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU MK, Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan berlaku ke depan (prospective) dan tidak berlaku surut (retroactive). “Dengan demikian, semua perjanjian atau kontrak dan izin usaha di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU 27/2007 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan izin usaha tersebut habis atau tidak berlaku lagi,” katanya.
Dalam konklusi yang dibacakan Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyimpulkan permohonan para Pemohon sepanjang mengenai HP-3 dan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak melibatkan masyarakat sebagai pihak dalam musyawarah beralasan hukum. ”Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) bertentangan dengan UUD 1945,” tandas Mahfud membacakan amar putusan. (Lulu Anjarsari/mh)