Anggota Lemhanas Nigeria Berkunjung ke MK
Rabu, 15 Juni 2011
| 19:48 WIB
Hakim Konstitusi Harjono didampingi Ibrahim Jumare (ketua rombongan) saat memaparkan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia dan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kepada anggota Lemhanas Nigeria yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi, Rabu (15/6) di Lantai 8 Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Segenap anggota Lemhanas Nigeria mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (15/6) siang, yang diterima langsung oleh Hakim Konstitusi Harjono. Dalam kesempatan itu, Harjono menjelaskan secara panjang lebar mengenai sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, sejarah konstitusi Indonesia, termasuk latar belakang dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Mengawali pertemuan, Harjono menjelaskan bahwa pada 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di Hiroshima oleh Amerika Serikat, yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), untuk lebih menegaskan keinginan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki, menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya.
“Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,” ungkap Harjono yang didampingi Ibrahim Jumare selaku ketua rombongan dari Lemhanas Nigeria.
Setelah Indonesia merdeka, kebutuhan terhadap konstitusi resmi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut, antara lain
menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil hasil panitia perumus pada 22 Juni 1945. Kemudian menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari Rancangan yang disusun oleh panitia perancang UUD 16 Juni 1945.
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga diberlakukannya periode Konstitusi RIS 1949 dan Periode UUDS 1950. Pada periode UUDS 1950 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Tetapi situasi politik pun kembali berubah, setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Sekian tahun lamanya UUD 1945 menjadi konstitusi bangsa Indonesia, hingga terjadinya reformasi 1998 akibat pemerintahan orde baru yang tidak demokratis, tidak serius melakukan upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), merajalelanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta kurangnya dilakukan langkah penegakan hukum. Karena itulah, pada 1999 mulai dilakukan amandemen UUD 1945. Tahapan amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali (1999-2002).
Salah satu perubahan dari UUD 1945 adalah mengenai kekuasaan MPR. Bahwa pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang telah diamandemen menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini berbeda seperti disebutkan dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”.
Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dibentuk, tepat pada 13 Agustus 2003. Latar belakang didirikan MKRI diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga. (Nano Tresna A./mh)