Jakarta, MKOnline - Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon, maka akan menghilangkan politik afirmatif action dalam Undang-Undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). “Apabila permohonan dikabulkan maka akan menghilangkan kekhususan itu sendiri,” tegas Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakhrullah, dalam sidang mendengarkan tanggapan Pemerintah dan keterangan ahli serta saksi, Selasa (14/6) di ruang sidang Pleno MK.
Dengan kata lain, kata Zudan, pasal yang diuji tersebut, yakni Pasal 20 Ayat (1) huruf a, dapat dikatakan ruh dari UU Otsus Papua. Menurutnya, pasal itu bertujuan dalam rangka memberikan keistimewaan dan kekhususan pada putra asli Papua untuk berkompetisi dalam proses kepemimpinan di Papua. “Dengan tetap memperhatikan batasan-batasan yang ada,” tambahnya.
Ia juga menegaskan, ketentuan itu telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 18B Ayat (1). Setidaknya, kekhususan dan keistimewaan suatu daerah telah diakui dan dijamin dalam pasal tersebut. Keistimewaan suatu daerah antara lain didasarkan pada aspek historis dan latar belakang kebudayaan.
Oleh karena itu, ia berpendapat, ketentuan terkait tugas dan wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan atas bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana diatur dalam pasal itu telah sesuai dengan konstitusi. “MRP punya kewenangan atributif,” ujarnya. Ia pun berkesimpulan, kerugian yang diderita oleh Pemohon bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan karena implementasi norma.
Sebelumnya, Pemohon II, Komarudin Watubun Tenawimora, ditolak pencalonannya sebagai wakil gubernur Papua pada 2005 oleh MRP. Alasan MRP saat itu, Komarudin bukanlah orang asli Papua. Hal ini tertuang dalam Keputusan MRP No. 6 tahun 2005. Akibatnya, dia tak bisa berkompetisi dalam Pemilukada. Namun, menurut Pemohon, meskipun dirinya memang bukan keturunan Papua asli, tapi dia telah diangkat anak dan dinobatkan sebagai salah satu anggota suku Yawa Onad, salah satu suku di Kepulauan Yapen. Terkait hal itu, bertindak sebagai Pemohon I, Kepala Suku Yawa Onad, David Parangkea.
Pasal yang diuji tersebut berbunyi: “(1) MRP mempunyai tugas dan wewenang: a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP.”
Multitafsir
Pada kesempatan itu, Pemohon menghadirkan dua ahli dan dua saksi. Sebagai ahli, hadir Y. Usfunan dan Sukirno. Sedangkan sebagai saksi, Hermanus Wariori dan Agus Tanawani. Usfunan menyatakan, kerugian konstitusional Pemohon dikarenakan pengaturan norma dalam Pasal 20 Ayat (1) huruf a tersebut kabur. Menurutnya, kriteria penilaian serta ruang lingkup materi-materi yang dijadikan pertimbangan oleh MRP dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak diatur secara jelas dan tegas. “Pasal ini multi-interpretasi dan melanggar kepastian hukum,” katanya.
Ia berpendapat, ketentuan tersebut telah melanggar hak-hak masyarakat adat. Ia menegaskan, yang berhak menentukan apakah seseorang itu diakui sebagai orang Papua asli atau tidak adalah masayarakat adat, bukan MRP. “Ukuran-ukuran (yang digunakan MRP) tidak jelas dan tidak cermat,” tuturnya.
Pendapat senada diungkapkan oleh ahli Sukirno. Ia berpandangan, MRP hanya tinggal menyetujui saja jika sudah ada keputusan dari masyarakat adat terkait pencalonan kepala daerah. “Harus diperjelas kriteria dan verifikasi sebagai orang yang diterima oleh MRP,” ia mengingatkan. Selain itu, ia menjelaskan bahwa pengangkatan anak atau pengakuan serta penobatan seseorang sebagai anggota dari suku adat tertentu sudah lumrah terjadi diberbagai daerah di Indonesia.
Sedangkan dua saksi lainnya, bersaksi sebagai pihak yang menyaksikan secara langsung penobatan Komarudin sebagai salah satu anggota (keluarga) dari suku Yawa Onad. Menurut mereka, penobatan Komarudin dilaksanakan pada 8 Juni 2005 silam. “Proses dilaksanakan di rumah adat,” ujar Agus Tanawani. Saat itu, Komarudin diangkat sebagai anak dari John Tenawani, bapak dari Agus. Prosesi ini, kata Agus, merupakan wujud semangat solidaritas dan kebhinekaan yang hidup dalam masyarakat adat di Papua. “Tidak ada (sikap) rasialis, diskriminatif, atau papuais.” (Dodi/mh)