Jakarta, MKOnline - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, ia tidak mungkin berpolitik praktis, mengingat posisinya sebagai hakim konstitusi. Namun demikian, ia memiliki politik aspiratif yang harus disalurkan bukan sebagai pemain politik, tetapi sebagai orang yang punya aspirasi.
“Aspirasi politik saya adalah aspirasi politik Gus Dur. Gagasan-gagasan Gus Dur tentang politik, kebangsaan dan keagamaan sangat diperlukan bagi masa depan Indonesia, kalau Indonesia ini ingin terus ‘ada’,” kata Mahfud dalam acara silaturahmi Partai Kebangkitan Bangsa Nusantara (PKBN) di Jakarta, Senin (6/6) malam.
Menurut Mahfud, untuk membahas berbagai gagasan Gus Dur mulai dari soal kebangsaan, demokrasi, keagamaan, hak asasi manusia dan sebagainya, tidak mungkin cukup dalam waktu semalam.
“Namun yang lebih penting, dalam upaya mewujudkan gagasan Gus Dur, Saudara harus tampil bersih dan menjaga diri jangan sampai terjebak dalam situasi seperti sekarang, yang menyebabkan semua orang mati langkah,” urai Mahfud.
Pada kesempatan itu Mahfud menyoroti satu persoalan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini. “Sekarang banyak orang yang tidak mau menyuarakan kebenaran, karena ‘terjerat’ oleh permainan-permainan politik. Orang seperti Gus Dur itu tidak ada sekarang, kalau tidak benar akan ‘berteriak’ dan ‘ditabrak’ siapa pun orangnya,” ucap Mahfud.
Oleh sebab itu, Mahfud seringkali berusaha berani bicara untuk kebenaran. Orang menganggap dirinya melanggar ‘pakem’ sebagai hakim konstitusi. Bahwa sebagai Ketua MK, seharusnya Mahfud tidak boleh banyak bicara kepada pers.
“Saya bilang, tidak bisa kalau diam semua seperti ini, atas nama kerikuhan. Rikuh kepada pejabat lain karena bukan bidangnya dan sebagainya, lalu negara ini rusak dibiarkan berjalan tanpa ada yang ‘berteriak’. Orang boleh mencaci maki dan memuji saya, prinsipnya kalau tidak benar saya ‘tabrak’,” imbuh Mahfud yang didampingi Ketua Umum PKBN Yeni Abdurrahmanwahid.
Mahfud mengungkapkan pula bahwa untuk meraih jabatan, kedudukan dan sebagainya, tidak perlu melakukan kolusi. Saat ini, ujar Mahfud, berbagai persoalan jadi macet karena banyak orang ‘membeli’ jabatan maupun kedudukan. Dengan demikian, kalau ingin meneriakkan suatu kebenaran, ia tidak berani berbicara kepada orang yang sudah ‘dibelinya’.
Situasi kondisi yang tidak menguntungkan itulah, kata Mahfud, yang menyebabkan seseorang masuk dalam jebakan-jebakan politik yang membuat seseorang tidak bisa keluar dari ‘penyanderaan’ seperti itu.
Lebih lanjut Mahfud mengutarakan, persoalan yang belum terselesaikan sekarang di Indonesia bukanlah masalah konflik budaya, keagamaan maupun kebangsaan, namun justru masalah penegakan hukum dan keadilan. Bahkan ketidakadilan bisa menjadi pemicu disintegrasi bangsa, menyebabkan masyarakat jadi apatis, lalu melakukan pembangkangan, hingga berujung pada pemberontakan.
“Itulah yang seringkali dikatakan Gus Dur. Kalau kita ingin membangun demokrasi, kita harus membangun kedaulatan hukum. Karena kedaulatan rakyat tanpa kedaulatan hukum itu kacau. Demokrasi harus seiring sejalan dengan nomokrasi,” tandas Mahfud. (Nano Tresna A./mh)