Jakarta, MKOnline - Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (6/6), di Ruang Sidang MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 32/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Muhammad Suryani, Sani Abdullah, Husien Djunaidi dan Badriah.
Para pemohon yang datang tanpa diwakili kuasa hukum merupakan anggota koperasi sejak tahun 1953 sampai dengan sekarang. Sebagai anggota koperasi, Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 20 Ayat (1) huruf a dan Pasal 37. Pasal 20 Ayat (1) huruf a menyatakan, “(1) Setiap anggota mempunyai kewajiban: a. mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota...”. Sementara, Pasal 37menyebutkan bahwa ”Persetujuan terhadap laporan tahunan, termasuk pengesahan perhitungan tahunan, merupakan penerimaan pertanggungjawaban Pengurus oleh Rapat Anggota”. Menurut Muhammad Suryani, dirinya dan ketiga pemohon lainnya merupakan anggota koperasi sejak tahun 1953 sampai sekarang. “Kemudian, perubahan kepengurusan terjadi. Pada tahun ‘90-an, banyak permasalahan yang terjadi yang bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya.
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman menyarankan agar Pemohon memperbaiki struktur permohonan dengan melihat contoh di Kepaniteraan. “Kemudian, mengenai norma yang diuji, paling tidak ada dua pasal, para Pemohon menyampaikan dalam permohonannya, pasal yang menjadi batu uji terdapat dalam UU Koperasi. Dihubungkan dengan petitum Pemohon tidak ada konsistensi, apa yang diuraikan dalam dalil-dalil dengan petitum. Kemudian yang harus diperhatikan, dari dalil Pemohon menyangkut masalah perdata mengarah ke pidana. Mohon supaya dalam permohonannya diperbaiki menukik pada alasan-alasan yang dikehendaki dengan pengujian UU terhadap UUD 1945. Karena berkaitan juga AD ART Koperasi,” urainya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati sebagai Anggota Panel menjelaskan kedudukan hukum (legal standing) merupakan hal utama dalam sebuah permohonan di MK. Selain itu, posita permohonan, lanjut Maria, terlalu singkat sehingga tidak terlihat jelas permasalahan konstitusionalitas norma UU Koperasi yang diajukan oleh Pemohon. “Jadi, sebaik apapun permasalahannya, kalau kedudukan hukum tidak memenuhi, maka permohonan akan ditolak. Apakah mempunyai kapasitas untuk mewakili anggota yang lain? Dinyatakan permasalahannya terlebih dahulu. Karena ada permasalahan ini, maka ada permasalahan norma, kalau hanya ini saja maka ini hanya masalah implementasi dari UU tersebut. Selain itu, para pemohon harus menjelaskan hak-hak konstitusional Pemohon yang terlanggar akibat berlakunya pasal a quo,” katanya.
Sedangkan, Hakim Konstitusi Harjono menyarankan agar Pemohon mengganti pasal yang dijadikan batu uji. Harjono memaparkan bahwa dalam pengujian undang-undang, yang diujikan adalah pasal undang-undang terhadap UUD 1945. “Bapak ingin mengujikan Pasal 20 Ayat (1) huruf a dan Pasal 37 UU Koperasi terhadap Pasal 34 UU Koperasi juga. Kalau begitu, maka itu tidak termasuk di dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Seharusnya yang dilakukan adalah pasal undang-undang diuji oleh pasal dalam UUD 1945. Bagaimana pengajuan itu? Sebetulnya, MK sudah mempunyai PMK 06/2005. Pemohon bisa mencari,” terangnya.
Majelis Hakim Panel memberikan waktu selama 14 hari bagi Pemohon untuk melakukan perbaikan. Anwar menegaskan bahwa MK mengadili perkara mengenai konstitusionalitas norma, bukan masalah implementasi suatu pasal undang-undang. (Lulu Anjarsari/mh)