Jakarta, MKOnline - Untuk kesekian kalinya, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD., mengatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kali ini, pernyataan tersebut disampaikan saat menjadi Khotib Sholat Jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Jumat (3/6). Menurutnya, dalam sebuah negara yang sebesar ini, Pancasila berhasil memberi tempat yang luas bagi umat Islam untuk berkiprah tanpa didiskriminasi atau mendiskriminasi pihak lain.
Lebih lanjut Mahfud mengatakan, problem besar bangsa ini yang harus diatasi secara bersama-sama adalah penegakan hukum dan keadilan. “Sebagai kaum muslimin, kita tidak perlu untuk memperjuangkan formalisasi atas hukum dan institusi-institusi kenegaraan dengan dengan label Islam. Sebab Indonesai sebagai negara Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam,” jelasnya.
Yang lebih penting bagi kita, menurut Mahfud, bukan soal negara Islam atau hukum Islam secara formal, melainkan memperjuangkan pesan substantive dari ajaran Islam, seperti perlindungan hak asasi manusia, demokrasi, kepemimpinan yang amanah, serta penegakan hukum dan keadilan. “Pesan-pesan substantive seperti itu pasti bisa diterima oleh semua kalangan tanpa membedakan agama yang dianut oleh masing-masing, dan karenanya lebih efektif untuk diperjuangkan,”tuturnya.
Menurut Mahfud, penegakan hukum dan keadilan adalah salah satu substansi yang penting dalam ajaran Islam, sehingga Nabi Muhammad, para sahabat, dan para tabi’in menjadikan sebagai pijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. “Kalau kita cinta terhadap bangsa ini, dan ingin Indonesia selamat, maka kita harus berjuang keras agar hukum dan keadilan bisa ditegakkan di negara yang kita cintai ini,” katanya.
Mahfud juga menyoroti bagaimana mafia peradilan di negeri ini yang tumbuh subur. Ia mengingatkan bahwa reformasi 1998 sejatinya merupakan gerakan bersama untuk menegakan hukum dan keadilan. Salah satu tujuan reformasi adalah memberantas mafia peradilan, atau jual beli perkara hukum berdasarkan kekuatan uang, dan tekanan-tekanan politik. “Tetapi sekarang, rasanya tujuan itu masih jauh. Yang ada justru sebaliknya. Rasa keadilan dalam masyarakat terlukai akibat perilaku koruptif dari para aparat penegak hukum kita,”jelasnya.
Lebih jauh Mahfud merasa miris melihat fenomena penegakan hukum bangsa ini. Penegakan hukum yang kurang mengedepankan unsur keadilan. Ia sedih mendengarkan seseorang diajukan ke pengadilan pidana karena mengambil strum listrik untuk mengisi baterai telephone selulernya. Sementara banayak orang yang dinyakini sebagai penjahat besar dan telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sulit untuk disentuh hukum. “Melihat itu rasa keadilan kita sangat terusik. Hati nurani kita menjerit ketika dali-dalil hukum secara formal-prosedural digunakan untuk menghukum atau tidak menghukum orang secara adil,” ujarnya.
Mahfud meyakini bahwa suatu negara akan kuat apabila negara tersebut mengedepankan penegakan hukum dan keadilan. Begitu sebaliknya, jika penegakan hukum dan keadilan diabaikan maka kita tinggal menunggu kehancurannya.
Hukum dan keadilan, menurut Mahfud, bersifat universal. Tidak mengenal agama dan kenyakinan. Oleh karena itu, banyak negara walapun pemimpinnya orang kafir negara tersebut menjadi besar dan kuat. Sedangkan untuk negara-negara yang tidak menegakkan hukum dan keadilan secara benar, meskipun pemimpinnya beragama Islam, negara tersebut menjadi terbelakang dan miskin.
Di akhir khotbahnya, Mahfud mengingatkan pada 1 Juni, 66 tahun yang lalu, Hari Kelahiran Pancasila, Bung Karno mengatakan bahwa tugas kita sebagai bangsa persatuan adalah nasionalisme. Nasionalisme akan kuat manakalah keadilan dan hukum ditegakkan. “Dalam Islam dikatakan, manakalah kamu menegakkan hukum, maka tegakkan hukum itu dengan adil. Dalam keadilan hanya ada ukhwah islamiyah (persaudaraan yang Islami), bukan ukhwah bainalmuslimin (persaudaraan sesama muslim),” terangnya. (Shohibul Umam/mh)