Jakarta, MKOnline- Para saksi dari Pihak Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait menyampaikan keterangannya pada sidang ketiga perkara PHPU Pemilukada Walikota dan Wakil Walikota Salatiga, Selasa (31/5). Pada sidang kali ini para saksi saling tuding dan saling bantah. Bahkan, beberapa peserta sidang sempat dikeluarkan oleh petugas atas perintah Ketua MK yang sekaligus menjadi ketua panel hakim, Moh. Mahfud MD karena tidak mengikuti perintah Mahkamah.
Saksi Pemohon, Alfahsad Alkafau menjadi saksi pertama yang menyampaikan keterangannya dihadapan panel hakim. Ia mengatakan, pada tanggal 7 Mei, satu hari sebelum Pemilukada Walikota Salatiga digelar, Jawardi (tim sukses nomor urut 3/pasangan Yulianto-Muhammad Haris) mendatangi rumahnya. Jawardi saat itu menjanjikan Alfahsad dan tiga anggota keluarganya uang sebesar 100 ribu rupiah per orang jika mereka mau memilih pasangan Yulianto-Muhammad Haris pada hari pemilihan.
“Tapi sampai detik ini, uang itu tidak dikasih. Saya yang semestinya tidak memilih nomor 3, jadi terpaksa memilih. Saya juga diancam akan diusir dari tempat tinggal saya kalau tidak memilih nomor urut 3 oleh Jawardi itu karena saya bukan penduduk asli Salatiga,” papar Alfahsad.
Saksi Pemohon lainnya yang berasal dari Desa Dampok, Ma’mul mengatakan seorang ulama bernama Sundarsih kerap kali meminta jama’ah pengajiannya memilih pasangan Yulianto-Muhammad Haris. Ajakan tersebut dilontarkan Sundarsih setiap ia menyelesaikan tausiah-nya. Menurut Ma’mul, Sundarsih selalu mengatakan bahwa umat Islam harus memilih calon yang beragama Islam juga. Pasalnya, Sundarsih mengatakan haram hukumnya bagi umat Islam memilih calon yang bukan beragama Islam.
Prawirosamin, saksi Pemohon lainnya, mengatakan bahwa pada satu hari sebelum Pemilukada Walikota Salatiga digelar didapati dua orang yang menyebarkan stiker dukungan terhadap pasangan Yulianto-Muhammad Haris. Stiker yang disebar di Desa Dukuh Wara RW 06 itu menurut Prawirosamin bertuliskan, “Allahu Akbar Yaris (Yulianto-Haris,red) menang, lawan orang kafir.”
Munthalib, saksi Pemohon, menyampaikan bahwa ia dan 14 orang lainnya tidak terdaftar dalam DPT. Karena tidak terdaftar di DPT, akhirnya Munthalib bersama 14 orang lainnya yang tidak terdaftar di DPT membawa KTP pada hari pencoblosan ke TPS 6 Kelurahan Kumpul Rejo, Kecamatan Argo Mulyo yang berada di wilayah tempat tinggal mereka. Di TPS 6 tersebut, Munthalib dan ke-14 orang lainnya tetap tidak dibolehkan melakukan pemilihan, justru mereka disuruh untuk ke KPU terlebih dulu.
Bantahan
Anggota KPU Kota Salatiga, Dyah Sari Marhaeny dari Divisi Permutakhiran Data Pemilih dan Teknis Pemilu langsung membantah pernyataan Munthalib. Dyah mengatakan, memang sesuai prosedur yang berlaku, warga yang tidak terdaftar di DPT harus ke KPU dulu untuk bisa memilih menggunakan KTP. “Jadi memang tidak bisa langsung di TPS memilih menggunakan KTP, harus ke KPU dulu untuk dilakukan penelitian,” jelas Dyah.
Bantahan lainnya keluar dari mulut Sri Wahyu Handayani, tim pemeriksa kesehatan jiwa Pemilukada Kota Salatiga. Sri membantah dalil Pemohon yang mengatakan dirinya membantu calon Walikota Salatiga nomor urut 4, Bambang Sutopo mengerjakan soal tes kejiwaan.
Saat itu Sri mengaku, memang membacakan soal tes kejiwaan tersebut untuk Bambang. Namun, hal itu dilakukannya bukan untuk membantu Bambang lolos dari tes. “Waktu itu saya berkeliling. Salah satu calon (Bambang Sutopo) baru menyelesaikan setengah dari seluruh jumlah soal yang berjumlah 350 soal. Ternyata matanya sudah tidak kuat untuk membaca lagi. Setelah saya meminta pertimbangan tim psikiater, akhirnya diputuskan saya membacakan soal tersebut, bukan membantu mengisi jawaban. Jadi, yang mengisi jawaban tetap peserta tersebut,” tegas Sri.
Hadir pula dalam persidangan kali ini, yaitu Kasat Intelkam Kota Salatiga Sriyoto. Di hadapan panel hakim yang diketuai Moh. Mahfud MD serta beranggotakan Muhammad Alim dan Anwar Usman, Sriyoto mengatakan Pemilukada Walikota dan Wakil Walikota Salatiga berjalan aman dan kondusif.
Meski begitu, Sriyoto mengakui bahwa ada tiga orang anggota Satgas PDI Perjuangan yang diminta kembali ke DPC-nya. Namun, Sriyoto membantah kalau kembalinya ketiga anggota satgas tersebut karena diintimidasi pihak kepolisian. “Soal Polres Salatiga tidak netral itu salah, Sejak awal kami netral. Tuduhan pengusiran satgas PDIP oleh Polres salatiga itu tidak benar. Kami hanya mengambil langkah seperti patroli yang dipimpin oleh Bapak Kapolres saat malam sebelum hari pemilihan. Sampai di wilayah Pamot, kami dihentikan oleh warga. Warga menyampaikan bahwa mereka merasa tidak aman dengan adanya satgas tersebut. Soalnya, satgas tersebut selalu mencurigai warga yang keluar malam sampai dikejar-kejar dan ditanyai. Kalau kami (kepolisian,red) tidak mengusir, maka warga mengancam akan mengusir sendiri,” tutur Sriyoto panjang lebar menceritakan kronologis pengusiran satgas PDIP.
Lebih lanjut, Sriyoto mengatakan, pihaknya tidak ingin timbul bentrok antar warga dan satgas PDIP. Karena itulah kemudian pihak Polres Salatiga meminta satgas PDIP untuk kembali ke DPC PDIP.
Sidang kali ini yang berlangsung sejak pukul 14.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB kerap dihujani dengan interupsi dari para saksi Pihak Pemohon. Karena bukan pada tempatnya untuk melakukan interupsi, Ketua Panel Moh. Mahfud MD kemudian mengingatkan sidang bukan tempat diskusi kepada para saksi yang melakukan interupsi berkali-kali tersebut. “Di sini bukan untuk mencari kesepakatan bersama, bukan tempat berdiskusi, kesepakatan ada di tangan hakim, jadi tidak boleh ada interupsi. Saudara boleh berbicara kalau diizinkan,” kata Mahfuid mengingatkan. (Yusti Nurul Agustin/mh)