Jakarta, MKOnline - Rapat Konsultasi Komisi III DPR dengan Mahkamah Konstitusi (MK) kembali diselenggarakan pada Senin (30/5) siang di lantai 8 Gedung MK. Dalam kesempatan itu hadir Ketua MK Mahfud MD sebagai pimpinan rapat, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki serta Hakim Konstitusi lainnya, Sekjen MK Janedjri M. Gaffar. Sedangkan dari Komisi III DPR hadir di antaranya Fahri Hamzah, Adang Darojatun, Ruhut Sitompul, Herman Heri, Bukhori Yusuf maupun Martin Hutabarat.
Agenda Rapat Konsultasi Komisi III DPR-MK menyangkut fungsi dan kinerja MK, legislasi, maupun persoalan-persoalan di bidang anggaran serta kasus dan problem hukum yang sedang menghangat. Berbagai hal dipertanyakan dalam rapat, mulai dari adanya anggapan agresivitas MK dalam memutus perkara, terjadinya saling ‘menyandera’ antara satu pihak dengan pihak lain, sehingga menyulitkan pemberantasan korupsi, mengenai ditetapkan Nunun sebagai tersangka, hingga persoalan yang paling hangat soal Nazaruddin.
Menanggapi adanya anggapan agresivitas MK dalam memutus perkara, Mahfud menerangkan bahwa MK membuat penafsiran-penafsiran yang tidak ditemukan kebutuhannya dalam prosedur-prosedur formal yang tersedia. Meskipun sebelumnya ada aturan bahwa MK tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur.
“Tetapi ketika kita masuk ke ranah MK, aturan itu tidak bisa diterapkan. Karena ada satu fakta, kalau kita mengikuti bunyi UU semata-mata, keadilan tidak akan terikat. Misalnya UU mengatakan putusan MK ada dua yaitu menolak atau mengabulkan. Padahal ada satu putusan yang tidak bisa ditolak, tapi tidak bisa dikabulkan. Itulah sebabnya, lalu kita membuat putusan sela, untuk memastikan ke arah dikabulkan atau ditolak. Nah, agresivitas kami sebenarnya terbatas di situ,” urai Mahfud.
Dikatakan Mahfud lagi, MK dibentuk untuk mengawal konstitusi. “Kalau terjadi hal yang melanggar prinsip demokrasi dan konstitusi tetapi sudah terlewat dari prosedur-prosedur, apakah MK akan diam? Itulah sebabnya kita membuat yurisprudensi-yurisprudensi yang Insya Allah bisa dipertanggungjawabkan,” ucap Mahfud yang juga memaparkan proses pengujian hukum dan penanganan perkara yang telah dilakukan MK selama lebih kurang 7 tahun. Menurut Mahfud, setidaknya ada 3.850 kasus yang ditangani dan 316 perkara.
Lebih lanjut Mahfud menjelaskan anggapan bahwa MK dikendalikan Presiden. Menurut Mahfud, MK tetap independen dan tidak dikendalikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mahfud mengaku banyak orang yang selama ini curiga, MK dikendalikan Presiden SBY. Kenyataannya, Presiden tidak pernah datang ke MK untuk melakukan intervensi. “Bahkan yang curiga MK diintervensi,” kata Mahfud.
Dalam pertemuan tersebut, Mahfud juga mengungkapkan bahwa seseorang, termasuk para penegak hukum harus bersifat ‘merah’ dan ‘putih’ yang berarti berani dan bersih. Meskipun kenyataannya tidak mudah menjadi orang semacam itu. Banyak orang bersih tapi tidak berani bertindak, sebaliknya ada orang berani tapi bertindak dalam hal yang salah, tidak bersih dan justru orang ini menjadi berbahaya. “Idealnya seseorang harus bersifat ‘merah’ dan ‘putih’,” ucap Mahfud. (Nano Tresna A./mh)