Pemohon Uji Materi UU Otsus Papua Perbaiki Permohonan
Jumat, 27 Mei 2011
| 06:28 WIB
Kepala Suku Yawaonad, Kab. Kepulauan Yapen, Papua, David Barangkea selaku Pemohon I didampingi oleh kuasa hukumnya Abdul Rahman Upara dalamSidang uji materi UU No. 35/2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2008 tentang Perubahan Atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang (UU Otsus Papua), Kamis (26/5) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Sidang uji materi UU No. 35/2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2008 tentang Perubahan Atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang (UU Otsus Papua) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi, Kamis (26/5) di Ruang Sidang MK.
Perkara yang diregistrasi dengan No.29/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Kepala Suku Yawaonad, Kab. Kepulauan Yapen, Papua, David Barangkea (Pemohon I) dan Komarudin Watubun Tanawani Mora (Pemohon II). Dalam persidangan, mereka didampingi oleh kuasa hukum Abdul Rahman Upara.
Pada persidangan kali ini, Abdul Rahman menyatakan telah memperbaiki permohonanya. “Sesuai saran Majelis Hakim,” ujarnya. Setidaknya, telah dilakukan perbaikan pada objek permohonan, legal standing (kedudukan hukum) Pemohon, dan alasan pengujian.
Dalam hal ini, kata Abdul Rahman, Pemohon menguji Pasal 20 Ayat (1) huruf a UU Otsus Papua dengan batu uji Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dia menegaskan, materi muatan dalam pasal tersebut telah disalahtafsirkan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) sehingga merugikan Pemohon. Dalam keputusannya, MRP menolak Pemohon II sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Papua.
“Komarudin Watubun adalah orang asli Papua yang diterima dan diakui masyarakat Yapen Waropen Papua. Ia memenuhi unsur-unsur sebagai orang asli Papua. Pemohon punya hak konstitusional untuk menjadi calon gubernur/wakil gubernur Papua. Ironi, UU ini dijadikan dasar dengan menyatakan Komarudin Watubun bukan orang asli Papua,” kata Abdul Rahman dalam penjelasannya pada persidangan sebelumnya, Kamis (12/5). “Tidak ada dasar yang jelas dalam pertimbangan MRP tentang masyarakat asli Papua.”
Saat itu, Pemohon juga meminta MK untuk memberikan putusan sela yang isinya memerintahkan KPU Pemerintah Provinsi Papua untuk menangguhkan tahapan pemilihan gubernur sampai ada Putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Adapun muatan Pasal 20 ayat (1) UU tersebut berbunyi “MRP mempunyai tugas dan wewenang: a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP...” rumusan inilah yang dianggap Pemohon telah merugikan hak konstitusionalnya.
Akhirnya, pemohon pun meminta kepada Mahkamah untuk memberikan putusan yang menyatakan bahwa pasal tersebut hanya berlaku jika mendapatkan pengakuan dari satuan masayarakat hukum adat. “Jika tidak didasarkan pada pengakuan oleh satuan masyarakat hukum adat maka tidak berkekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” tegasnya. (Dodi/mh)