Komnas Perempuan Diskusikan Kebhinekaan Indonesia Menggunakan Vicon MK
Kamis, 26 Mei 2011
| 15:19 WIB
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat menyampaikan materi seputar peran wanita dalam pergerakan kebhinekaan Indonesia melalui video conference (vicon) yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan kerjasama Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (25/5) di Ruang Konferensi Pers lantai 4 Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Fasilitas video conference (vicon) kembali digunakan di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun Vicon kali ini tidak digunakan dalam kegiatan persidangan, melainkan untuk diskusi yang diadakan Komnas Perempuan.Vicon menghubungkan empat universitas, yaitu UGM Yogyakarta, USU Medan, Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat, dan Universitas Pattimura Ambon. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang hadir pada acara tersebut di lantai empat Gedung MK menyampaikan materi seputar peran wanita dalam pergerakan kebhinekaan Indonesia.
Para wanita yang hadir di empat universitas tersebut menyampaikan pengalaman dan pemikirannya seputar peran wanita dalam upaya pergerakan kebhinekaan Indonesia. Wanita dari bekas daerah konflik Ambon yang pertama kali menyampaikan pengalamannya. Wa Ode Anisa, seorang mahasiswa Unpatti menyampaikan bahwa sampai saat ini masih ada trauma meski konflik antar umat beragama di Ambon sudah dinyatakan selesai. “Meskipun pemerintah bilang konflik sudah selesai, tapi kami masih trauma,” ujar Anisa.
Ketegangan antar Muslim dan pemeluk agama Kristen menurut Anisa juga masih terasa di Ambon meski konflik secara fisik sudah tidak ada. Ketegangan itu ditandai dengan adanya segregasi atau pemisahan suatu golongan dengan golongan lainnya. Contoh nyata, yaitu pemukiman Muslim dengan pemukiman Umat Kristen dipisah.
Menurut Anisa, para wanita di Ambonlah yang kemudian membangun jalur perdamaian lewat adanya aktivitas di pasar-pasar. Tanpa memedulikan latar belakang agama, para wanita tersebut berbelanja dan berjualan di pasar-pasar.
Hal serupa juga dikatakan Ina Sosialita, wanita dari Maluku lainnya yang berbicara melalui vicon dari Unpatti. Menurut Ina segresi seperti itu juga terjadi hingga ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan lingkungan lainnya. Padahal, menurut Ina, Ambon sebelum konflik tidak seperti itu. Wajah Ambon sebelum konflik sangat kuat dengan budaya kebhinekaan.
Seorang wanita peserta acara ini yang berada di Unram Lombok mengatakan persoalan wanita yang menyangkut kebhinekaan di Nusatenggara Barat, yaitu mengenai poligami, kawin-cerai, dan nikah siri. Para wanita si NTB banyak yang sulit mendapatkan haknya ketyika bercerai dengan suaminya. Pasalnya, perkawinan mereka tidak tercatat sesuai peraturan yang berlaku.
Menanggapi persoalan-persoalan yang ada menyangkut kebhinekaan dan wanita, Maria Farida Indrati menyampaikan bahwa untuk merajut kebhinekaan memang harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar. Siokap tenggang rasa dan saling menghormati antar umat beragama juga harus dilakukan agar tercipta kedamaian dalam hidup berdasar kebhinekaan. “Jangan sampai suatu yang otonom menjadi peraturan-peraturan yang normative,” pesan Maria untuk menjaga kebhinekaan.
Maria mencontohkan, ia menghargai wanita-wanita yang memutuskan untuk menutup aurat dengan kesadaran sendiri. Namun, Maria mengaku kurang senang dengan peraturan yang memaksakan wanita harus memakai penutup aurat. Pasalnya, keterpaksaan akan menimbulkan pertentangan yang lama-lama akan membesar dan menghancurkan bangsa.
Maria juga menyampaikan pendapatnya mengenai persoalan KDRT. Menurut Maria seharusnya tidak perlu lagi dibuat Perda KDRT karena sudah ada UU yuang mengatur persoalan KDRT. Kalau ada Perda KDRT, maka hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga akan lebih ringan.
Di akhir acara, Maria bersama peserta yang hadir di MK maupun di empat universitas tersebut menyanyikan lagi Dari Sabang sampai Marauke untuk menghadirkan semangat kebhinekaan kembali. (Yusti Nurul Agustin/mh)