Jakarta, MKOnline - Ketua MK Moh. Mahfud MD mengungkapkan lebih suka disebut lulusan dari Air Langgar atau pesantren. Hal ini disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD ketika menjawab pertanyaan salah satu Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada yang berkunjung ke MK pada Rabu (25/5).
“Saya tak ingin dan tak suka menyebutkan (almamater) karena itu terlalu mewah. Saya sendiri lebih suka menyebut sebagai lulusan Air Langgar. Air yang disampingnya banyak surau. Langgar itu pondok pesantren,” jelasnya di hadapan para mahasiswa UGM yang tersinggung dengan pernyataan salah satu kader partai politik mengenai almamater Mahfud.
Mahfud menyayangkan adanya ungkapan yang menyerang dirinya secara personal terutama mengenai almamaternya. “Pembicaraan ‘kan hanya tentang perkara dan kasus itu, tetapi malah jadi masuk ke ranah pribadi dan membawa almamater,” urainya.
Menanggapi pertanyaan lainnya mengenai kasus yang sedang bergulir, Mahfud menyebutkan bahwa dirinya sudah melakukan kesepakatan dengan Presiden SBY untuk membuka mengenai penyuapan yang dilakukan oleh Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar. “Pak SBY yang meminta saya membuka kasus tersebut, tapi dengan syarat agar kader-kader partainya tidak berkomentar. Kemudian, sekarang justru kader-kadernya menyerang saya, saya merasa tidak terlindungi. Padahal kesepakatannya waktu itu kalau kadernya tidak berkomentar, saya tidak akan membuka sejauh ini. Maksud saya, membuka kalau saya sudah melapor pada Pak SBY pada November 2010 lalu,” urainya.
Dalam kesempatan itu, hadir pula sebagai pembicara, Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Alim menjelaskan mengenai kewenangan dan kewajiban MK sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, di antaranya menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, kewenangan memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
“Kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pertanda bahwa Indonesia menganut paham demokrasi dan sekaligus paham kedaulatan hukum, karena undang-undang adalah produk politik. Artinya, undang-undang itu dibentuk oleh para politisi, yakni DPR dengan persetujuan Presiden. Berhubung adanya kemungkinan penonjolan kepentingan politik dari satu golongan tertentu di dalam DPR, yang tidak mustahil bertentangan dengan UUD 1945, maka diberikanlah kewenangan pada MK sebagai pengawal, penafsir dan penegak konstitusi untuk mengujinya. Ini adalah salah satu ciri negara hukum, yaitu peradilan yang bebas dan tidak memihak,” urainya.
Sementara itu, kewenangan memutus pembubaran partai politik, merupakan satu-satunya kewenangan yang belum dilaksanakan oleh MK. “Seperti diketahui, dahulu Masyumi disuruh membubarkan diri oleh Presiden Soekarno, sementara PKI dibubarkan oleh Pak Harto. Pembubaran parpol dahulu hanya berdasarkan kekuatan politik, namun sekarang pembubaran parpol harus dimohonkan oleh Pemerintah ke MK untuk disidangkan demi membuktikan parpol tersebut memiliki ideologi yang bertentangan dengan UUD 1945,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)