Jakarta, MK Online - Dalam rangka menyosialisasikan pendidikan kesadaran berkonstitusi di kalangan Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Mahkamah Konstitusi (MK) bekerjasama dengan Muslimat NU menyelenggarakan Temu Wicara “Peningkatan Pemahaman Berkonstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Kalangan Tokoh Perempuan, Pengurus dan Aktivis Muslimat NU”, 13-15 Mei 2011.
“Mengapa hal ini harus disosialisasikan? Sebagai warga negara yang baik, kita harus mengetahui perkembangan negara yang kita cintai ini beserta lembaga-lembaga yang terdapat dalam UUD 1945,” ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki sebelum secara resmi membuka Temu Wicara yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi-Muslimat NU, Jumat (13/5) sore di Hotel Arya Duta, Jakarta.
Sodiki mengatakan MK memiliki kewenangan yang berbeda dengan kewenangan Mahkamah Agung (MA). Kewenangan pertama MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945. Kewenangan kedua MK adalah memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Kewenangan ketiga MK adalah memutus pembubaran partai politik.
“Sedangkan kewenangan MK berikutnya adalah memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta ditambah kewajiban MK memberi putusan tentang pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar UUD,” jelas Sodiki dalam acara yang dihadiri antara lain Sekjen MK Janedjri M. Gaffar, Said Agil Siraj Ketua Umum PBNU dan Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa.
Pada kesempatan itu Sodiki juga mengungkapkan, banyak sekali UU yang sudah dibatalkan MK dalam pengujian UU. Pembatalan itu bukanlah UU seluruhnya, tetapi pada pasal-pasal tertentu. Menurut Sodiki, karena UU di Indonesia mewarisi UU yang berasal dari zaman Hindia Belanda, juga zaman kemerdekaan. “Yang kemudian menurut kaca mata UUD 1945, bertentangan dengan UUD 1945,” kata Sodiki.
Sodiki melanjutkan, acara Temu Wicara MK-Muslimat NU menjadi pembudayaan konstitusi maupun pembudayaan berdemokrasi. Sebab, salah satu fungsi demokrasi adalah ‘menjinakkan’ kekerasan-kekerasan. Selain itu demokrasi berfungsi menampilkan nilai-nilai keadilan.
“Oleh sebab itu kalau suatu Pemilu legislatif atau Pemilukada menampakkan suatu proses intimidasi, ketidak-jujuran, politik uang, kekerasan dan sebagainya, itu semuanya bertentangan dengan demokrasi,” tegas Sodiki.
Karena itulah, lanjut Sodiki, pendemokrasian itu adalah suatu proses pemberdayaan agar orang lebih menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Itulah pentingnya kesesuaian antara ajaran agama dan demokrasi.
Dengan demikian, hasil akhir pemilihan umum tidak boleh mengandalkan bentuk kekerasan, pemaksaan, dan sebagainya. Disinilah kita menampilkan apa yang disebut dengan keadilan substantif. Bukan hanya dilaksanakan saja, tetapi pelaksanaan itu harus menghasilkan sesuatu yang benar.
“Kalau pemilihan umum dilaksanakan dengan penuh konflik, intimidasi, penyuapan, politik uang dan sebagainya, itu sepertinya mendapatkan sesuatu yang haram. MK tidak rela hasil pemilihan umum dicapai dengan cara yang haram dan hasilnya pun merupakan hasil yang haram,” tandas Sodiki. (Nano Tresna A./mh)