Tidak Diakui Orang Asli Papua, Komarudin Watubun Ujikan UU Otonomi Khusus Papua
Jumat, 13 Mei 2011
| 08:29 WIB
Kuasa dari Pemohon, Abdul Rahman Upara dalam sidang perdana uji materi Undang-Undang (UU) No. 35/2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2008 tentang Perubahan Atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, Kamis (12/5) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - UU No. 35/2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2008 tentang Perubahan Atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, diujikan di MK, Kamis (12/5) pukul 14.00 WIB.
Perkara yang diregistrasi dengan No.289/PUU-IX/2001 ini dimohonkan Komarudin Watubun Tanawani Mora. Mendampingi Pemohon sebagai kuasa hukum adalah Paskalis Letsoin dan Abdul Rahman Upara.
Sidang perdana pengujian ini masih dalam tahap pemeriksaan pendahuluan. Dalam persidangan, Majelis Hakim memersilakan Pemohon memaparkan legal standing, pokok permohonan, dan alasan-alasan pengujian UU ini. Majelis Hakim persidangan dipimpin Hamdan Zoelva.
“Komarudin Watubun adalah orang asli Papua yang diterima dan diakui masyarakat Yapen Waropen Papua. Ia memenuhi unsur-unsur sebagai orang asli Papua. Pemohon punya hak konstitusional untuk menjadi calon gubernur/wakil gubernur Papua. Ironi, UU ini dijadikan dasar dengan menyatakan Komarudin Watubun bukan orang asli Papua,” kata Abdul Rahman dalam penjelasan awalnya.
Pemohon melihat materi muatan UU ini bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 tentang negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.
“Istilah atau sebutan ‘orang asli Papua’ memiliki istilah yang sama dengan istilah ‘masyarakat hukum adat’. Muatan Pasal 20 ayat (1) UU a quo yang berbunyi “MRP mempunyai tugas dan wewenang: a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP...” dianggap tindakan yang merugikan hak konstitusional Pemohon.
“Tidak ada dasar yang jelas dalam pertimbangan MRP tentang masyarakat asli Papua,” kata Pemohon. MRP adalah Majelis Rakyat Papua. Pemohon meminta MK memeriksa perkara ini dengan memberikan putusan memerintahkan KPU Pemerintah Provinsi Papua menangguhkan tahapan pemilihan gubernur sampai ada Putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Hamdan Zoelva menasehati substansi permohonan dalam Pasal 20 ayat (1) mengenai mekanisme penentuan calon gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. “Saudara tidak mempermasalahkan syarat gubernur Papua harus orang asli Papua. Tapi jika Pasal 20 ayat (1) dibatalkan, siapa yang menentukan calon gubernur harus orang asli Papua? Kalau diputuskan, dapat menjadi soal baru,” kata Hamdan.
Pemohon sendiri merespon pertimbangan persetujuan harus orang asli Papua harus dalam peraturan daerah khusus. “Orangnya memang harus orang asli Papua, tapi harus diakui dan diterima, dalam penafsiran harus jelas,” kata Abdul Rahman. (Yazid/mh)