Jakarta, MKOnline - Pancasila memiliki sejarah panjang dan bukan hasil pemikiran sesaat. Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri, dan tidak mengadopsi pandangan hidup bangsa yang dimiliki negara lain. Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur perjuangan dan budaya bangsa sendiri sehingga harus dikawal dalam perwujudannya dalam politik legislasi nasional.
Hakim Konstitusi H. M. Akil Mochtar menyampaikan hal tersebut dalam pokok-pokok pemikirannya terkait pengawalan Pancasila dalam legislasi nasional dalam Diskusi Panel II pada Sarasehan Nasional 2011 bertemakan "Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia", Senin (2/5) di Grha Sabha Pramana UGM Yogyakarta. Sebelum membahas tema ini, diskusi panel sebelumnya membahas orientasi pembudayaan kehidupan berkonstitusi berdasar nilai-nilai konstitusi.
Akil Mochtar mengatakan, cita-cita negara yang termuat dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 harus mengarahkan bagaimana penyusunan program legislasi. Arah yang diambil dalam kebijakan setidaknya berdasar pertimbangan kondisi objektif kebutuhan saat ini dan lingkungan strategisnya untuk masa depan yang dicita-citakan. Selain itu, keanekaragaman budaya hukum dalam masyarakat mesti dipertimbangkan dan mengacu amanat cita-cita perjuangan bangsa yang terkandung dalam UUD 1945.
Norma substansi legislasi menjadi penting, tidak hanya prosedur dan tahapan sesuai ketentuan. Untuk menjaga legislasi sesuai dasar falsafah negara, kata Akil, empat prinsip harus dijadikan paradigma. Selain itu, produk legislasi mengandung lima nilai dalam Pancasila. Pertama, nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. "Produk legislasi hendaknya memuat nilai-nilai toleransi terhadap kehidupan dan kerukunan umat beragama, serta memberikan jaminan kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya," terang Akil menjelaskan nilai ketuhanan.
Pandangan menarik juga dikemukakan Dosen HTN FH UGM Yogyakarta M. Fajrul Falaakh, sebagai salah satu narasumber tema ini. Ia mengajukan pemikirannya Pancasila sebagai perspektif untuk memagari legislasi dan memastikan legislasi memenuhi syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis. Selanjutnya ia mengemukakan legislasi sebagai proses negosiasi dan pengujian UU (judicial review) sebagai mekanisme mengawal konstitusi. Terkait pengujian UU oleh MK apakah sudah ideal, Fajrul mengatakan, sebagai lex fori, MK diedealkan jadi tempat untuk ”menguji-rumuskan” kepancasilaan legislasi (pengujian UU). Fajrul juga mempertanyakan bagaimana jika pasal-pasal konstitusi tidak sesuai Pancasila.
Guru Besar HTN FH Unand Padang Prof. Saldi Isra, juga menyoroti pengawalan nilai-nilai Pancasila dalam proses legislasi, baik tahap persiapan, pembahasan, dan persetujuan. Saldi menyarankan optimalisasi naskah akademik dalam menjaga kesinambungan dengan sila-sila Pancasila, tidak sekedar sinkronisasi dengan peraturan yang ada. Pancasila juga penting sebagai kontrol kualitas (quality control) terhadap substansi proses pembahasan dan mekanisme judicial review mengawal sila-sila Pancasila yang saat ini menentukan fungsi legislasi dan politik di Indonesia. MK akhirnya menjadi faktor berpengaruh kehati-hatian legislator merumuskan substansi undang-undang. Sejauh ini, kata Saldi, belum ada upaya konkrit menjadikan Pancasila sebagai batu uji dalam menilai konstitusionalitas undang-undang.
Sarasehan Nasional ini berlangsung 2-3 Mei 2011 untuk menemukan butir-butir pemikiran, kerangka dan strategi komprehensif menegakkan konstitusionalitas Indonesia sesuai Pancasila. Acara kerjasama MK-UGM dengan peserta 500-an orang ini dibuka Rektor UGM Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D, yang didahului laporan Kepala PSP UGM Drs. Sindung Tjahyadi dan Sambutan Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar, dan penandatanganan MoU MK-UGM untuk membudayakan Pancasila dan Konstitusi. (Miftakhul Huda)