Jakarta, MKOnline - Dalam kurun waktu 65 tahun setelah Indonesia merdeka, telah terjadi dua kali pemakzulan Presiden Indonesia yang dilakukan berdasarkan mekanisme hukum dan demokrasi sesuai ketentuan UUD 1945. Pertama, pemakzulan Presiden Soekarno pada 1967. Kedua, pemakzulan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid pada 2001.
“Dalam kedua kasus itu, proses pemakzulan Presiden dilakukan melalui proses penelitian dan pengkajian di DPR dan dilanjutkan dengan permintaan kepada MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggung jawaban Presiden agar Presiden dimakzulkan,” jelas Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva saat memberikan kuliah singkat kepada para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (4/5) pagi.
Dikatakan Hamdan, prosedur pemakzulan terhadap dua Presiden RI itu berbeda dengan prosedur pemakzulan Presiden pasca perubahan UUD 1945. Terdapat landasan yuridis pemakzulan Presiden pasca perubahan UUD 1945. Di antaranya termuat dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945.
“Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD,” ungkap Hamdan.
Dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden itu, merupakan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Selanjutnya, Hamdan menjelaskan mengenai prosedur pemakzulan Presiden. Bahwa pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Selain itu MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.
“Apabila MK memutus bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR,” urai Hamdan.
Lebih lanjut Hamdan juga menjelaskan proses beracara perkara pemakzulan Presiden. Tata cara pengajuan permohonan adalah sebagai berikut, bahwa Pemohon adalah DPR yang diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dibuat dalam 12 rangkap, ditandatangani pimpinan DPR atau kuasa hukumnya, serta memuat dengan jelas dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presidenm maupun dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat.
Di samping itu, dalam hal dugaan pelanggaran hukum, permohonan harus memuat secara rinci mengenai jenis, waktu dan tempat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sedangkan dalam hal dugaan tidak lagi dipenuhinya syarat menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden, permohonan harus memuat uraian yang jelas mengenai syarat apa yang tidak dipenuhi. (Nano Tresna A.)