Jakarta, MKOnline - “Kami sudah menangkap keprihatinan tentang luntur nilai-nilai Pancasila, sekurang-kurangnya sejak 2009. Karena kami mengendus persoalan-persoalan yang sangat mendasar, mengancam bagi kelangsungan bangsa. Misalnya, menguatnya sekterianisme, anarkisme pada saat itu,” ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dalam acara “Metro Pagi” di Studio Metro TV, Rabu (4/5).
Selain itu, lanjut Mahfud, terdapat persoalan-persoalan hukum yang terkait dengan tugas MK, yaitu hukum yang banyak dipersoalkan secara akademis maupun filosofis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
“Kemudian di tengah masyarakat, banyak hal yang memprihatinkan terkait Pancasila. Misalnya, anak sekarang tidak hafal lagi mengenai Pancasila. Ada sebuah wawancara dadakan sebuah stasiun televisi, seseorang ditanya sila ketiga Pancasila, tidak tahu. Itu pedagang, bisa dimaklumi. Tapi ketika seorang mahasiswa ditanya sila kedua dan keempat, tidak tahu. Bayangkan, padahal dia mahasiswa,” urai Mahfud.
Pada masa 1980-1990, generasi muda saat itu begitu hafal dengan sila-sila Pancasila dan ada kebanggaan terhadap Pancasila. Hal itu beda pada masa sekarang. Karena sekarang memang ada anggapan sinis, untuk apa menghafal Pancasila, lebih baik menghafal dan memahami kitab suci.
Itulah sebabnya, ujar Mahfud, pada 2009 Mahkamah Konstitusi (MK) bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta menyelenggarakan Kongres Pancasila dengan membahas hal-hal yang sifatnya konseptual filosofis, untuk mengingatkan kembali keberadaan Pancasila.
“Karena kita sebenarnya sudah mengenal Pancasila sejak lama dan sudah disepakati bersama, kita mengikuti kuliah Pancasila di kampus dan sebagainya,” imbuh Mahfud yang pada 2-3 Mei 2011 baru saja mengikuti Sarasehan Nasional 2011 mengenai Pancasila di Yogyakarta.
Lebih lanjut menanggapi soal penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Mahfud menjelaskan sejak 1999 penataran P4 sudah tidak diselenggarakan lagi. Menurut Mahfud, pola penataran P4 memang bagus. Namun, isi penataran P4 yang kurang tepat.
“P4 dianggap terlalu memberi tafsir Pancasila secara sepihak. Padahal kita ingin Pancasila sebagai ideologi terbuka, tidak boleh ditafsir bahwa isinya sekian butir. Kita ingin Pancasila dihayati, dipahami sebagai suatu ideologi terbuka. Justeru kita menolak P4, sekarang malah kebablasan, meninggalkan sama sekali. Ini kan berbahaya,” papar Mahfud.
Kemudian menanggapi bahwa saat ini ada upaya untuk mereduksi Pancasila dalam kurikulum pendidikan, Mahfud menerangkan bahwa kini Pancasila sudah tereduksi secara nyata dalam kurikulum pendidikan.
“Kurikulum mengenai Pendidikan Moral Pancasila di bangku SMP, SMA, Perguruan Tinggi sudah semakin kurang. Padahal Pendidikan Moral Pancasila itu sangat bagus, dengan segala kekurangannya dalam memasyaratkan Pancasila. Sekarang pendidikan semacam itu makin melemah, karena seakan-akan dipertentangkan kembali antara Pancasila dengan agama. Padahal sebenarnya tidak ada pertentangan antara agama dengan Pancasila,” ucap Mahfud.
Mahfud melanjutkan, upaya yang harus dilakukan agar Pancasila dapat dipahami dan dihayati oleh semua pihak, antara lain dengan menghidupkan studi Pancasila di kampus-kampus, melalui kuliah Pancasila yang ditetapkan oleh kurikulum. Termasuk di kalangan SD, juga bisa diberikan pendidikan lebih banyak mengenai Pancasila.
Dulu ada kebanggaan bahwa setiap pagi anak-anak SD atau SMP mengadakan upacara dan membacakan Pancasila sehingga lama-lama mereka jadi hafal Pancasila. “Tapi sekarang malah banyak mahasiswa yang tidak hafal Pancasila,” tandas Mahfud prihatin. (Nano Tresna A.)