Jakarta, MKOnline - “Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku, Disanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan Tanah Airku, Marilah kita berseru, Indonesia bersatu…” Lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan khidmat oleh peserta acara pembukaan Seminar Nasional "Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia". Ada nuansa yang berbeda dengan keprihatian masalah bangsa ini.
Indonesia Raya memang bukan lagu daerah, tetapi lagu kebangsaan RI yang dipilih ketika Indonesia dideklarasikan sebagai negara merdeka pada 17 Agustus 1945. Indonesia Raya perlambang persatuan bangsa negara merdeka. Proklamasi menghendaki negara merdeka berdaulat dan juga pembentukan masyarakat yang bebas merdeka.
Seminar Nasional kedua kalinya kerjasama MK-UGM ini diharapkan menemukan butir-butir pemikiran, kerangka dan strategi komprehensif menegakkan konstitusionalitas Indonesia sesuai nilai-nilai Pancasila. Acara ini dibuka Rektor UGM Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D, yang didahului laporan dan sambutan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM Drs. Sindung Tjahyadi dan sambutan Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar, dan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) MK-UGM untuk membudayakan Pancasila dan Konstitusi. Ketua MK Moh Mahfud MD yang menjadi pembicara kunci menekankan nilai-nilai Pancasila penting untuk ditumbuhkan kembali.
Pada Diskusi Panel I setelah peserta disuguhi penampilan Teater Gama Tua UGM pada Senin (2/5) di Graha Sabha Pramana UGM Yogyakarta, para narasumber menyampaikan gagasan-gasannya yang diwarnai antusiasme peserta berjumlah 500-an orang. Hakim Konstitusi Harjono menyampaikan makalahnya berjudul “Rancang Bangun Republik Pancasila”. Harjono mengemukakan Bung Karno yang merumuskan Pancasila sebagai dasar falsafah Negara (filosofische grondslag). Akan tetapi yang lebih penting dari soal istilah, kandungan lima sebagai satu kesatuan, yang disusul penyusunan Piagam Jakarta dan disepakatinya dalam Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan.
”Oleh karena masih merupakan falsafah, maka rumusan masih sangat bersifat umum. Berbeda halnya saat falsafah tersebut dipositifkan dalam bentuk tertulis yang berhubungan langsung dengan eksistensi negara Indonesia yang konkrit, dalam Pembukaan dan dikonkritkan lagi dalam pasal-pasal UUD,” tegas Harjono. Ia juga menyatakan perlunya perumusan lebih operasional untuk menjadi rancang bangun negara. Negara sebagai organisasi kekuasaan, rancang bangunnya meliputi tidak hanya terkait kekuasaan negara, akan tetapi juga berhubungan tujuan negara.
Rancang bangun negara Pancasila adalah negara berkedaulatan rakyat dan negara dirancang bangun untuk tujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembukaan tidak hanya menjadikan kedaulatan rakyat sebagai sumber kekuasaanya, akan tetapi juga memberikan prasyarat substantif atas pelaksanaanya. Harjono mengatakan, ”Kedaulatan dalam rancang bangun negara Pancasila adalah kedaulatan terbatasi, yaitu keadaulatan yang mempunyai dasar-dasar. Artinya, bukan kekuasaan sebebas-bebasnya.”.
Selain itu, bunyi Pembukaan, akhirnya terdapat empat dasar dalam Pembukaan menjadi kandungan atau substansi kedaulatan rakyat dalam rancang bangun negara Pancasila berdasar kalimat, ”dengan berdasar kepada..” Selain itu, kedaulatan rakyat tidak boleh bertentangan dengan empat dasar yang memiliki derajat normatif lebih tinggi. Setiap penggunaan kekuasaan akhirnya dalam tataran praktis di pusat atau daerah yang bersumber kedaualatan rakyat mendasarkan kepada empat dasar tersebut.
Paradigma Hukum
Dalam kesempatan berikutnya, Prof. Dr. Kaelan, M.S. sebagai pembicara mengemukakan sistem hukum Indonesia secara substansial belum menampakkan meletakkan Pancasila sebagai paradigma hukum. Kaelen menyatakan berbagai persoalan bangsa adalah karena kurangnya rasa kebanggan. ”Kita punya filosofi, tapi kita tidak bangga,” katanya. Ia juga memberi catatan, hukum bukan catatan matematika atau catatan hutang piutang, akan tetapi menyangkut manusia. Kaelan mengajak hukum ditafsirkan secara kontekstual. Karena hukum adalah sistem tanda, sehingga maknanya harus dikeluarkan.
Pancasila sebagai cita hukum, lanjut Kaelan, berfungsi regulatif dan konstitutif. ”Fungsi regulatif, menilai hukum yang berlaku adil atau tidak. Sedangkan fungsi konstitutif, mengarahkan hukum positif menuju sesuatu yang adil dan untuk mencapai cita-cita masyarakat,” terangnya. Kaelan menyarankan realitas penafsiran yang jauh dari keadilan, maka tafsir progresif dengan paradigma hukum untuk manusia menjadi tuntutan saat ini.
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno juga melihat ancaman-ancaman atas eksistensi bangsa Indonesia, utama merajalelanya korupsi. Ia menawarkan operasionalisasi nilai-nilai Pancasila sehingga dapat menjadi acuan kehidupan konstitusional.”Dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, harus dianggap bertentangan penyebaran ideologi-ideologi ateis maupun ideologi-ideologi religius ekslusif yang memaksakan pandangan mereka kepada masyarakat,” ujar Romo Magnis terkait aktualisasi sila pertama. Ia juga banyak menyoroti soal keadilan, jika negara tidak memperhatikan kemaslahan rakyat, negara akan hancur. (Miftakhul Huda)