Mahasiswa Undiknas Denpasar Kunjungi MK
Selasa, 03 Mei 2011
| 15:22 WIB
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat memberikan kuliah singkat kepada mahasiswa Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Bali, yang berkunjung ke MK pada Selasa (3/5) siang.
Jakarta, MKOnline - Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan, selama ini tidak ada pengawasan langsung sebagai suatu lembaga terhadap Mahkamah Konstitusi (MK). Termasuk peran Komisi Yudisial yang tidak bisa mengawasi Hakim Konstitusi setelah putusan MK beberapa tahun lalu. Namun demikian, pengawasan terhadap Hakim Konstitusi cukup ketat oleh BPK dan KPK. Setiap tahun Hakim Konstitusi melaporkan besar kekayaan dan harta benda secara detail termasuk pembayaran pajaknya.
“BPK juga mengawasi berbagai peralatan yang kami gunakan. Misalnya saat kami mengadakan kunjungan balasan ke MK negara lain, segala hal berkaitan dengan keberangkatan kami diperiksa oleh BPK,” jelas Maria menanggapi pertanyaan mahasiswa Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Bali, yang berkunjung ke MK pada Selasa (3/5) siang.
Selain itu, lanjut Maria, kalau terjadi sesuatu misalnya Hakim Konstitusi melanggar kode etik, maka yang bersangkutan akan diadili terlebih dahulu oleh Panel Kehormatan terdiri atas tiga Hakim Konstitusi. “Lantas kalau tiga Hakim Konstitusi mendapatkan bukti bahwa ada Hakim Konstitusi melanggar kode etik, maka perlu dibentuk Majelis Kehormatan,” kata Maria kepada para mahasiswa Undiknas Denpasar/
Dalam kesempatan itu Maria juga menerangkan latar belakang adanya wewenang utama MK yakni menguji UU terhadap UUD. Dikatakan Maria, sejarah terjadinya pengujian undang-undang atau judicial review di dunia, dilatarbelakangi kasus Marbury vs Madison yang mencakup pembatalan ketentuan terkait pengangkatan hakim (judiciary Act. 1789). Kasus itu pun jadi dasar kewenangan judicial review Supreme Court Amerika Serikat.
Selanjutnya muncul gagasan cemerlang dari Hans Kelsen hingga terbentuknya MK Austria pada 1920. Gagasan Kelsen, agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Sedangkan di Indonesia, gagasan munculnya pengujian undang-undang sebenarnya sudah sejak masa perjuangan, dicetuskan Moh. Yamin agar membentuk Balai Agung (semacam Mahkamah Agung) untuk diberi wewenang membandingkan undang-undang. Namun usul Yamin tidak disetujui Soepomo karena UUD 1945 tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu.
Barulah setelah terjadi perubahan UUD 1945, tepatnya 13 Agustus 2003 MKRI dibentuk dan memiliki kewenangan seperti telah disebutkan sebelumnya. Selain itu MKRI memiliki kewenangan lainnya, yakni memutus sengketa kewenangan lembaga negara dan memutus pembubaran parpol. Ditambah satu kewajiban MKRI yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD. (Nano Tresna A/Yoga.)