Hukum Progresif, Perselisihan Hasil Pemilu Hingga SKLN
Senin, 02 Mei 2011
| 12:04 WIB
Panitera Mahkamah Konstitusi (MK) Kasianur Sidauruk secara resmi menutup Temu Wicara âPeningkatan Pemahaman Berkonstitusi dan Hukum Acara MK Bagi Pengawas Pemilu di Lingkungan Bawaslu kerja sama MK-Bawaslu yang berlangsung 29 April-1 Mei di Hotel Arya Duta, Jakarta pada Minggu (1/5) siang.
Jakarta, MKOnline - Wacana hukum progresif di Indonesia muncul karena banyaknya persoalan hukum yang timbul akibat penegak hukum mengimplementasikan hukum tertulis dengan kaku. Di antaranya, persoalan celah-celah hukum tertulis yang mengakibatkan kesulitan menghadapi korupsi di Indonesia.
“Juga pemidanaan terhadap rakyat kecil yang berat dan kadang tidak manusiawi karena hanya mengikuti teks hukum, serta penegakan hukum yang tidak sesuai dengan keadilan dan hati nurani,” ungkap Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva yang menyajikan materi “Mahkamah Konstitusi, Hukum Progresif dan Keadilan Substantif” dalam Temu Wicara MK-Bawaslu yang berlangsung 29 April-1 Mei di Hotel Arya Duta, Jakarta.
Hamdan juga melansir pernyataan Ketua MK Mahfud MD bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menegakkan hukum, tetapi menegakkan keadilan yang merupakan perpaduan antara akal sehat dengan undang-undang. Hanya dengan pandangan seperti itulah penegakan hukum akan memberikan keadilan pada masyarakat (keadilan substantif). Karenanya, hukum bisa dilanggar bila menutup jalan bagi tegaknya keadilan.
Dalam kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Akil Mochtar menyajikan materi “Mahkamah Konstitusi, Pemilu dan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum”. Akil menerangkan bahwa MK memaknai dan memberikan pandangan hukumnya melalui putusan-putusannya dengan memberikan penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan.
Selain itu, kata Akil, Mahkamah Konstitusi meneliti secara mendalam berdasarkan kebenaran materiil adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi perolehan suara dalam pemilihan umum. “MK merumus fakta hukum yang nyata-nyata terbukti tentang terjadinya suatu tindakan yang mencederai hak-hak asasi manusia, terutama hak politik,” jelas Akil.
Lebih lanjut Akil mengatakan, fungsi penyelenggaraan Pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
“Pengertian itu lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilu yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilu yang memenuhi prinsip ‘luber’ dan ‘jurdil’,” tambah Akil.
Sementara itu Hakim Konstitusi Anwar Usman memaparkan materi “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Pembubaran Partai Politik dan Pemakzulan Presiden di Mahkamah Konstitusi.” Dijelaskan Anwar, hingga saat ini telah ada 14 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) teregistrasi di MK dan sudah diputus 12 perkara.
“Namun belum ada perkara SKLN yang dikabulkan oleh MK. Sebagian besar perkara dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat,” jelas Anwar.
Selain tiga Hakim Konstitusi tersebut, ada narasumber lainnya antara lain Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin yang menyajikan materi “Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Termasuk narasumber mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dengan materi “Hukum Acara Judicial Review dan Mekanisme Checks and Balances dalam Legislasi”. Hingga akhirnya, Panitera MK Kasianur Sidauruk secara resmi menutup Temu Wicara MK-Bawaslu pada Minggu (1/5) siang. (Nano Tresna A./mh)