Jakarta, MKOnline - Menurut situs ACE Electoral Knowledge, 50 persen sengketa Pemilu di banyak negara diselesaikan oleh lembaga pengadilan, 46 persennya oleh Electoral Management Bodies (EMB/KPU). Thailand, Turki, Australia, Bolivia, Norwegia diselesaikan oleh EMB, sementara Indonesia dan Jerman oleh pengadilan.
Sepenggal paparan Topo Husodo di atas disampaikan dalam focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi (Puslitka MK), Rabu (27/4/2011) yang dimulai pukul 19.00 wib sampai selesai.
Puslitka MK merasa perlu menyelenggarakan FGD ini karena MK menjadi satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menangani sengketa penyelesaian hasil pemilihan umum dan pemilu kepala daerah. Pada awalnya, lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah adalah Mahkamah Agung. Sejak 2008, kewenangan tersebut dialihkan ke MK.
Kegiatan FGD ini digelar dalam bentuk Diskusi Terbatas, dihadiri para pegawai MK, terutama yang terkait dengan tugas-tugas penanganan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Temanya adalah “Perbandingan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Negara Demokrasi”. Tujuannya untuk mengetahui pandangan dari para ahli dalam melihat konteks di atas. Diharapkan, audiens mengetahui dan memahami perbandingan di beberapa negara.
Menurut Topo sendiri, melakukan studi perbandingan bukanlah sesuatu yang mudah. “Tidak hanya melihat persamaan atau perbedaan saja, tapi juga melihat yurisdiksi dan sejarah hukumnya,” katanya.
Meski demikian, ia melihat Indonesia negara yang sangat singkat sengketa pemilunya. “3x24 jam setelah pemilu harus lapor,” tuturnya.
Dalam paparannya, Topo menjelaskan 3 masa letak sengketa pemilu dalam siklus pemilu. Pertama, pre electoral period yang di dalamnya terdiri dari planning, training, information, dan registration. Kedua, electoral period. Ini adalah masa-masa campaign, voting, nomination, dan result. Ketiga, post electoral period yang terdiri atas tahapan review, reform, dan strategy.
“Integritas hasil pemilu bukan hanya dilihat dari tahapan-tahapan yang dilakukan KPU, tapi juga dari penyelesaian sengketanya di MK, baik mekanisme maupun prosesnya,” kata Topo. Di beberapa negara, pemilu adalah mengenai legal framework (kerangka hukum) yang menjadi landasannya. “Legal elections depend on legal correction of any mistakes..” imbuh Topo mengutip makalahnya.
Model Penyelesaian Sengketa Pemilu
Beberapa model penyelesaian sengketa pemilu berbeda-beda di tiap negara. Biasanya dilakukan oleh lembaga peradilan dan administrasi. “Tidak ada metode tunggal yang cocok untuk semua negara,” kata Topo.
Sistem pemilu memang banyak jumlahnya. Sistem itu cocok untuk suatu negara, tapi terkadang tidak cocok untuk negara yang lain. Meski demikian, apapun yang kita pilih diharapkan tetap sesuai dengan standar internasional.
Di Filipina, sistem pemilunya campuran. KPU-nya bisa menyelesaikan sengketa pemilu untuk pemilu-pemilu tertentu. Di beberapa negara, bahkan untuk mendaftarkan sengketa pemilu, harus membayar sejumlah uang tertentu, yang nominalnya cukup besar. “Tujuannya, agar orang yang berperkara tidak main-main dan hanya orang-orang yang serius karena mahalnya biaya berperkara,” tegas Topo.
Sementara itu, mengenai maximum complaint time since announcement (batas waktu pengaduan sengketa) di beberapa negara juga berbeda. Di Argentina, hanya berselang dua hari setelah pelaksanaan pemilu. Sementara di Indonesia tiga hari setelah pemilu. (Yazid/mh)