Jakarta, MKOnline - Permohonan yang diajukan oleh Farhat Abbas dan Agus Wahid berkaitan dengan pengujian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian amar putusan Nomor 48/PUU-VIII/2010 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi, Selasa (26/4), di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, mengenai ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 UU Pornografi yang memberikan peran serta kepada masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi tidaklah terhalang oleh Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6. Seperti diketahui dan didalilkan oleh para Pemohon, terang Akil, partisipasi masyarakat itu dapat dilakukan dengan cara-cara: a) melaporkan pelanggaran Undang-Undang a quo, b) melakukan gugatan perwakilan kepada pengadilan, c) melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi, serta d) melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi. “Menurut Mahkamah, partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 21 ayat (1) adalah sejalan dan tidak bertentangan dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6 UU Pornografi yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon,” jelasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan mengenai Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) serta Penjelasan Pasal 6 yang menurut para Pemohon bertentangan antara pasal dan penjelasannya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan karena itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, jelas Fadlil, antara pasal dan penjelasan pasal tersebut bukanlah hal yang bertentangan melainkan pembatasan atau pengecualian.
“Kalau diperhatikan dengan cermat redaksi Pasal 4 ayat (1) yaitu larangan memproduksi, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi, merupakan perbuatan-perbuatan yang memang bukan untuk kepentingan sendiri, sehingga dalam Penjelasannya khusus kata “membuat” diberi pembatasan bahwa yang dimaksud adalah tidak termasuk “membuat” untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Begitu pula Pasal 6 dan Penjelasannya tidak bertentangan satu sama lain, melainkan sebagai pembatasan atau pengecualian,” urainya.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 dengan Penjelasannya tidaklah bertentangan, jelas Fadlil, melainkan memberikan pembatasan. Larangan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan produk pornografi adalah menyangkut memperdengarkan kepada orang lain dan mempertontonkan kepada orang lain yang berarti memanfaatkan produk pornografi yang bukan hanya untuk diri sendiri. Adapun memiliki dan menyimpan produk pornografi untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri tidak dilarang. “Mahkamah menilai, dari dua ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, tidak ada persoalan inkonstitusionalitas dan tidak mengandung kontradiksi sepanjang dimaksudkan untuk kepentingan diri sendiri,” katanya.
Selain itu, Fadlil memaparkan Mahkamah menimbang seharusnya memang hal-hal yang merupakan kekecualian yang tertera di dalam penjelasan kedua pasal yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dijadikan satu norma juga di dalam pasal yang bersangkutan tidak perlu disebutkan dalam penjelasan. “Meskipun demikan tidaklah berarti pencantuman pembatasan berupa pengecualian dalam penjelasan kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah menilai dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan hukum,” paparnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyampaikan alasan yang berbeda (concuring opinion). Menurut Maria, apabila kedua pasal tersebut di atas dibaca dan dimaknai secara bersamaan dengan penjelasan pasalnya, akan terlihat dengan jelas bahwa terdapat pertentangan pengertian antara rumusan norma dalam Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasan pasalnya, serta rumusan norma dalam Pasal 6 dan Penjelasan pasalnya. “Adanya pertentangan pengertian antara pasal-pasal dan penjelasan pasalnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, perumusan yang demikian juga tidak sesuai dengan ”fungsi suatu penjelasan pasal” dan tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, khususnya “asas kejelasan rumusan” dan “asas ketertiban dan kepastian hukum” yang ditetapkan dalam Pasal 5 huruf f dan Pasal 6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” jelasnya.
Maria membenarkan terjadinya perumusan yang tidak tepat dan bahkan bertentangan satu dengan lainnya, yaitu antara Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasan pasalnya, serta Pasal 6 dan Penjelasan pasalnya serta adanya penambahan norma baru dalam kedua Penjelasan pasal tersebut. “Namun demikian, jika yang diajukan pengujian oleh Pemohon hanya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6 UU Pornografi, hal tersebut tidak dapat juga dilakukan pengujian, oleh karena Penjelasan pasal hanya dapat dimaknai apabila dihubungkan dengan norma yang dirumuskan dalam pasalnya. Selain itu, oleh karena Mahkamah tidak menguji norma dalam pasal Undang-Undang terhadap penjelasan pasalnya, sehingga permohonan pengujian ini ditolak,” terangnya.
Oleh karena itu, dalam konklusinya yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah berkesimpulan Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo dan dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan hukum. “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” tandas Mahfud membacakan amar putusan. (Lulu Anjarsari/mh)