Menyoal Ombudsman Sebagai Salah Satu Lembaga Negara
Senin, 25 April 2011
| 16:22 WIB
Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. dalam acara Focus Group Discussion di lingkungan pegawai Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (25/4) di Ruang Diklat Gedung MK.
Jakarta, MKonline - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang sebelumnya bernama Komisi Ombudsman Nasional, adalah salah satu state auxiliary agencies di Indonesia, dibentuk berdasarkan UU No.37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Ombudsman dikenal sebagai lembaga dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan menyelidiki keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration) publik, meliputi keputusan-keputusan atau tindakan pejabat publik yang ganjil, menyimpang, sewenang-wenang, melanggar ketentuan, menyalahgunakan kekuasaan, keterlambatan yang tidak perlu maupun melanggar kepatutan.
“Jauh sebelum UU Ombudseman disahkan, lembaga-lembaga ombudsman di tataran daerah kabupaten atau kota di Indonesia telah banyak bermunculan. Bahkan lembaga ombudsman daerah ini sedikit banyak berhasil membantu pemerintahan kabupaten atau kota dalam menangani masalah kesalahan administrasi,” papar Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. dalam acara Focus Group Discussion di lingkungan pegawai Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (25/4) siang.
Namun Philipus menyayangkan lembaga-lembaga ombudsman daerah yang telah eksis, tidak diakomodir dalam UU Ombudsman RI. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa ORI adalah satu-satunya lembaga ombudsman yang diakui dan berwenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, kata Philipus, UU Ombudsman RI juga menyatakan perwakilan ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota dapat didirikan apabila dipandang perlu dan berhubungan hierarkis dengan ombudsman.
“Penggunaan nama ombudsman yang tidak berdasarkan undang-undang ini harus diganti dan bila tidak, maka akan dianggap menggunakan nama ombudsman secara tidak sah,” jelas Philipus yang didampingi Kapuslitka MK Noor Sidharta.
Lebih lanjut Philipus menerangkan pengertian maladministrasi atau kesalah administrasi, yakni perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut.
“Termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perorangan,” ungkap Philipus.
Dalam kesempatan itu pula dilakukan sesi tanya jawab dengan para pegawai MK yang hadir. Sebagian besar pertanyaan terkait dengan pokok permasalahan mengenai konstitusionalitas penggunaan nama ombudsman yang tidak sesuai dengan UU Ombudsman RI. Selain itu, permasalahan mengenai konstitusionalitas pendirian dan kewenangan yang melekat pada lembaga ombudsman yang tidak dibentuk berdasarkan UU Ombudsman RI, dan lainnya.(Nano Tresna A.)