Jakarta, MKOnline - Pelaksanaan sistem kerja kontrak (ousurching) dianggap merugikan hak konstitusional warga negara, khususnya bagi para pekerja dan buruh kontrak. “Ousurching dari sisi pengusaha menguntungkan, tapi bagi pekerja sangat merugikan,”ujar Pemohon dalam perkara No. 27/PUU-IX/2011, Didik Suprijadi. Pernyataan tersebut diungkapkan Didik saat sidang pendahuluan uji materi Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Didik menganggap, aturan dalam UU tersebut berjiwa kolonialis. “Menjadikan pekerja sebagai budak,” tegasnya. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa dengan adanya aturan tentang tenaga kerja kontrak dalam UU tersebut telah mengakibatkan kesenjangan sosial, terutama antara pemilik modal/usaha (pengusaha) dengan pekerjanya. Olah sebab itu, menurutnya, Pasal 59 ayat (1) dan ayat (8) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.
Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik Indonesia (AP2MLI) itu juga menyatakan bahwa rumusan tersebut intimidatif. Karena, telah mengakibatkan dirinya tidak memiliki daya tawar apapun baik terhadap pihak penyedia jasa ousurching maupun pengusaha pengguna jasa ousurching.
Bahkan, dengan sistem kontrak yang diperbarui setiap satu tahun sekali, menurutnya, telah berakibat pada tidak diperhatikannya masa kerja seseorang. “Yang masa kerja 20 tahun tidak ada bedanya dengan yang baru,” kata Didik yang bekerja sebagai tenaga ousurching di salah satu Badan Usaha Milik Negara itu. “Setiap penandatangan kontrak menjadikan masa kerja nol tahun,”lanjutnya.
Adapun rumusan Pasal 59 ayat (1) UU yang diuji tersebut adalah “(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.” Sedangkan Ayat (8) berbunyi, “hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.”
Atas pokok-pokok permohonan tersebut, Panel Hakim yang diketuai oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki mengajukan beberapa pertanyaan dan saran. Sodiki mempertanyakan kejelasan legal standing (kedudukan hukum) Pemohon. Menurut Sodiki, Pemohon belum jelas apakah bertindak sebagai perseorangan ataukah badan hukum, mewakili organisasi yang diketuainya. Bahkan, menurut Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Pemohon juga belum melampirkan berkas akta AP2MLI yang diketuainya. “Yang ada aktanya ini aliansi pembaca meteran Jawa Timur, yang Indonesia tidak ada aktanya,” ujarnya.
Selain itu, menurut Panel Hakim, Pemohon juga masih belum tajam dalam mengurai kerugian konstitusionalnya. “Kalimat, frasa, atau kata mana yang merugikan anda?” tanya Sodiki. “Kemudian apakah itu bertentangan dengan demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, prinsip berkeadilan, prinsip berkelanjutan yang dirumuskan dalam Pasal 33 yang anda maksud.”
Hamdan menegaskan, perlunya Pemohon untuk mempertimbangkan lagi apakah sebenarnya persoalan yang sedang dihadapi adalah masalah implementasi ataukah masalah norma. Ia juga mengatakan, sebaiknya Pemohon menguji dengan menggunakan batu uji yang lebih spesifik. Karena, menurutnya, Pasal 33 UUD 1945 yang digunakan oleh Pemohon rumusannya masih sangat umum sehingga kerugian konstitusional Pemohon kurang muncul. Ia pun kemudian menyarankan Pemohon untuk menggunakan pasal yang mengatur hak konstitusional secara lebih spesifik, misalnya Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang hak mendapat imbalan serta perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (Dodi/mh)