Jakarta, MkOnline – Tujuan UU Perkebunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penerimaan negara dan devisa, produktivitas, nilai tambah dan daya saing. Selain itu juga menyediakan lapangan kerja, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pendapat ini disampaikan oleh Suharto saat didaulat menjadi Ahli dari Pemerintah dalam sidang uji materi UU Perkebunan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/4/2011), bertempat di ruang sidang Pleno MK. Sidang kali keempat dengan agenda mendengar keterangan Ahli dari Pemerintah ini dilaksanakan oleh Pleno Hakim MK, yaitu Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Ketua Pleno, dan Anggota Pleno Muhammad Alim, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman.
Permohonan perkara nomor 55/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 18/2004 tentang Perkebunan ini diajukan oleh Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin alias Keling. Para Pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 21 jo Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan. Pasal 21 UU Perkebunan berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.” Menurut Pemohon, ketentuan pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Fungsi perkebunan, terang Suharto, tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dengan tujuan akhir meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, tapi juga punya fungsi yang lain, yaitu fungsi ekologi. “Ekologi yaitu pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam. Jadi sumber daya alam itu diupayakan tidak dieksploitasi habis-habisan, tapi juga harus diusahakan pelestariannya supaya bisa berkelanjutan,” terang Ahli Hukum Pertanian ini.
Kemudian fungsi sosial budaya, yaitu hubungan harmonis antara stakeholders atau pemangku kepentingan. Hal ini ditandai dengan adanya kerjasama antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitar, buruh atau pekerja, dan dengan stakeholders lainnya. “Hal ini menimbulkan sektor perkebunan sebagai perekat dan pemersatu bangsa,” lanjutnya.
Selain itu, UU Perkebunan tetap memperhatikan hak ulayat masyarakat hukum adat dengan syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedudukan masyarakat hukum adat dan hak ulayat diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU Perkebunan.
Di akhir paparannya, Suharto menyampaikan kekhawatiran sebagai implikasi dari tidak diberlakukannya ketentuan Pasal 21 juncto Pasal 47 dalam UU Perkebunan. ”Akan terjadi perusakan terhadap kebun dan industri pengolahan hasil perkebunan. Penyerobotan tanah perkebunan dan gangguan terhadap usaha perkebunan akan meningkat, sehingga usaha perkebunan tidak dapat melaksanakan ketiga fungsinya, yaitu fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya,” pungkasnya.
Kepastian Hukum dan Keadilan
Pihak Pemerintah juga menghadirkan Akhiar Salmi yang juga didapuk sebagai Ahli. Akhiar dalam paparannya menyatakan, pemisahan letak norma yang diatur oleh Pasal 21 dengan Pasal 47 UU Perkebunan, sejalan dengan prinsip dan kelaziman penempatan norma hukum pidana materiil sehingga tidak kabur dan tidak melanggar kepastian hukum. “Penguasa atau penegak hukum tidak bisa bertindak sewenang-wenang, tindakan mereka sudah dibatasi dengan tegas dan jelas sehingga masyarakat bebas dan aman serta tidak perlu takut untuk mengembangkan diri dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004,” papar Akhiar. Demikian pula, lanjutnya, anggota masyarakat juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh UU tersebut. Di sinilah letak keseimbangan antara kepastian hukum dengan keadilan yang merupakan tujuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004.
Menurut pakar hukum pidana UI ini, kata ‘sengaja’ dan ‘kelalaian’ yang tercantum dalam Pasal 47 UU Perkebunan adalah untuk membedakan jenis delik sengaja dengan jenis delik kelalaian, dan Bukan untuk membedakan jenis delik kejahatan dengan pelanggaran. Hal ini tampak dengan jelas setelah kita membaca Pasal 47 tersebut, delik yang dilakukan dengan ‘sengaja’ diatur dalam ayat (1) dan delik yang dilakukan dengan ‘kelalaian’ diatur dalam ayat (2).
Memasukkan unsur ‘sengaja’ dan ‘kelalaian’ ke dalam Pasal 47 bukan membuat pasal tersebut menjadi kabur dan tidak tegas, justru membuat pasal tersebut menjadi jelas, tegas, serta mencerminkan kepastian hukum dan keadilan. Apabila tidak dicantumkan, maka ketidakpastian hukum dan ketidakadilan hukumlah yang terjadi, sebab sanksi terhadap delik yang dilakukan dengan kelalaian akan diberikan sanksi yang sama dengan delik yang dilakukan dengan sengaja. Padahal delik yang dilakukan dengan sengaja sanksinya harus lebih berat dari delik yang terjadi karena kelalaian.
Oleh karena itu, agar pasal 47 menjadi lebih pasti, tidak menimbulkan multitafsir serta terwujudnya keadilan maka ditambahlah dengan unsur ’sengaja’ pada ayat (1) dan unsur ’kelalaian’ dalam ayat (2). Oleh karena norma larangan dalam Pasal 21 sudah ditarik dan dijadikan sebagai bagian yang utuh dalam Pasal 47 maka ketika menegakkan hukum hendak memfungsikan Pasal 47 tersebut tidak perlu lagi melihat Pasal 21, cukup membuka dan membaca Pasal 47 saja. ”Jadi tidak perlu dilakukan penafsiran, kalaupun harus dilakukan penafsiran maka hal tersebut tidak dilarang dalam hukum pidana,” imbuhnya.
Di akhir paparannya, Akhiar Salmi berpendapat bahwa UU 18/2004 tentang Perkebunan khususnya Pasal 21 dan Pasal 47 tidak bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana/mh)