Jakarta, MKOnline - Perlu rasa malu dalam semua tindakan sehari-hari kita. Itu bagian melaksanakan ajaran agama untuk menjaga kualitas keimanan. Keimanan menurun dengan sikap tamak. Rasa malu atas sesuatu yang bukan haknya atau berhak tapi tidak bekerja. Banyaknya persoalan kebangsaan saat ini karena tidak punya rasa malu itu.
Perlunya rasa malu ini disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogayakarta, Moh Mahfud MD dalam ceramahnya bertemakan “Menjadi Mulia dengan Memiliki Rasa Malu” pada acara Damai Indonesiaku, TVOne, Minggu (17/4) di hadapan jama’ah Al Muhajirin di Jakarta.
Mahfud MD mengatakan, puncaknya iman adalah ucapan penuh keyakinan tiada Tuhan selain Allah. Tetapi hal sepele, juga menjaga keimanan, seperti membuang batu penghalang di jalan karena akan mengganggu orang lain. Diantara tertinggi dan terendah keimanan, terdapat rasa tahu malu. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW, ada empat mutiara dan bisa dihapus empat hal juga. Pertama, akal agar digunakan sebaik-baiknya dalam melakukan sesuatu. Namun, akal baik bisa dirusak oleh marah. “Mutiara yang kedua, yaitu ajaran agama. Ketaatan agama biasanya dirusak oleh sifat iri dan dengki. Itu merusak agama, “ jelas Mahfud dengan panjang lebar.
Pemimpin tidak punya rasa malu, seperti kasus korupsi, kulitas imannya turun karena sikap tamak. Malu berbuat jelek justru ditunjukkan banyak orang kecil. Seperti pengalamnnya saat di stasiun gambir Jakarta, Mahfud bertemu tukang semir yang cacat yang menawarkan jasanya, akan tetap saat ia memberikan uang, ia menolak. Ia mengatakan kepada saya, “ Bapak, saya bukan pengemis. Saya mau dikasih uang kalau sepatu bapak disemir. Tapi bukan lima puluh ribu, lima ribu cukup, “ ujarnya. Harga diri, kata Mahfud, justru ditunjukkan orang-orang kecil seperti yang saya contohkan. Malu atas sesuatu yang bukan menjadi haknya dan malu memiliki hak akan tetapi malu karena tidak bekerja.
Tapi kalau kasus korupsi, tidak malu melakukannya. Itu berkebalikan umumnya rakyat kecil. Yang halal dapat, tidak halal dicari juga dengan berbagai cara. Mahfud menegaskan, “Ini mengakibatkan persoalan bagi kelangsungan bangsa kita, kemiskinan, kemelaratan, pelanggaran hukum disebabkan orang-orang yang diberikan amanah tidak punya rasa malu. Menganggap kekuasaan sebagi peluang untuk memanfaatkan untuk mendapatkan uang, ya kekayaan negara secara tidak sah.”
Tugas kita semua, menurut Mahfud menumbuhkan rasa malu itu. Misalkan Mr. Syafruddin Prawiranegara, sang presiden darurat dan menteri keuangan, ketika masa tugasnya selesai ditawari negara mendapatkan rumah, ia justru menolak dan mengatakan sudah memilikinya dan melaksanakan tugas karena negara. Contoh rasa malu juga ditunjukkan Sri Sultan Hamengku Buwono, meski berkontribusi besar kepada negara, ia tidak ingin dipublikasikan karena malu. Sementara kondisi sekarang, memanfaatkan kekuasaan sebesar-besarnya, meski secara tidak sah sekalipun. (Miftakhul Huda)