Jakarta, MKOnline - Acara bedah buku “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi” yang ditulis oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD berlangsung di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (19/4) siang. Dalam kesempatan itu Mahfud bertindak sebagai narasumber, serta didampingi John Pieris anggota DPD yang menjadi pembahas buku tersebut. “Saya akan menyampaikan beberapa hal menyangkut konstitusi,” ujar Mahfud membuka pembahasan buku yang ditulisnya.
Mahfud menjelaskan latar belakang dibuatnya buku itu. Setelah terjadi reformasi politik 1998 di Indonesia, para pakar hukum tata negara bersepakat bahwa kalau kondisi Indonesia ingin membaik, tak ada pilihan lain untuk melakukan amandemen UUD 1945 yang asli. Alasannya, UUD 1945 selalu melahirkan pemerintahan yang otoriter. Setelah Indonesia merdeka dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara, seluruh kekuasaan dipegang oleh Bung Karno, mulai dari kekuasaan MPR, DPR, DPA yang dibantu dengan sebuah Komite Nasional.
Selanjutnya pada masa orde lama pada 1959, juga muncul pemerintahan yang otoriter. Kemudian juga pada saat Presiden Soeharto memerintah di Indonesia selama 32 tahun, masih tetap berlangsung pemerintahan otoriter.
“Maka pada waktu itu ilmu hukum tata negara menyatakan, pasti ada ‘sesuatu’ pada konstitusi kita. Oleh sebab itu dilakukanlah amandemen UUD 1945,” ungkap Mahfud kepada para hadirin.
Dikatakan Mahfud, amandemen UUD 1945 dilakukan untuk membangun pemerintahan yang demokratis sesuai dengan kehendak konstitusi. Namun demikian, kata Mahfud, konstitusi itu adalah kesepakatan politik.
“Konstitusi adalah aturan-aturan dasar yang merupakan resultante atau kesepakatan politik yang dibuat oleh bangsa sesuai dengan tuntutan politik,” jelas Mahfud.
Mahfud melanjutkan, setelah UUD 1945 diamandemen, ternyata timbul persoalan. Misalnya, ada sekelompok orang yang mengatakan amandemen UUD 1945 tidak sah. Mereka berdalih, UUD 1945 dianggap tidak sah karena prosedurnya salah, karena tidak dicantumkan dalam lembaran negara.
“Padahal UUD 1945 itu sah. Tidak ada di dunia mana pun, UUD itu harus masuk lembaran negara. UU lah yang harus masuk lembaran negara, bukan UUD,” imbuh Mahfud.
Dikatakan Mahfud lagi, dilihat dari sudut historis, UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 tidak masuk dalam lembaran negara. Barulah pada 1946, UUD 1945 masuk dalam berita negara. Selanjutnya pada saat Indonesia menggunakan Konstitusi RIS 1949, juga tidak ada dalam lembaran negara. Setahun kemudian, dengan berlakunya UUDS 1950, juga tidak masuk dalam lembaran negara.
Sedangkan bila dilihat secara yuridis, peraturan perundang-undangan yang harus masuk dalam lembaran negara diatur dalam UU No.2/1950. Dalam undang-undang ini ditegaskan, yang harus masuk ke lembaran negara hanyalah undang-undang. “Tidak ada UUD, TAP MPR maupun peraturan lainnya,” ucap Mahfud.
Kemudian dilihat secara filosofis, tidak masuknya UUD dalam lembaran negara karena UUD tidak memuat sanksi seperti umumnya berlaku pada UU. Umpamanya dalam UU tertentu, kalau seseorang melanggar akan dikenakan sanksi atau ancamannya. Berdasarkan teori friksi hukum, UU harus masuk dalam lembaran negara. Karena menurut friksi hukum, setiap orang harus dianggap tahu UU.
“Berbeda dengan UUD, bagi yang melanggar tidak dikenakan ancaman atau hukuman penjara. Bagi yang melanggar konstitusi, hukumannya politik. Misalnya Presiden melanggar konstitusi, maka dia bisa diberhentikan. Hal itulah yang dikatakan hukuman politik,” tandas Mahfud. (Nano Tresna A./mh)