Jakarta, MKOnline - Pasal 38 Ayat (3) dan Pasal 50 Ayat (3) huruf g Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Konstitusi. Karena, tidak sejalan dengan prinsip negara hukum yang dianut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Demikian dinyatakan oleh I Gede Pantja Astawa, Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam perkara No. 72/PUU-VIII/2010, Selasa (19/4) di ruang sidang Pleno MK. Pemohon dalam perkara ini adalah Bupati Penajam Paser Utara, Andi Harahap.
Selain itu, menurut Pantja, rumusan dalam UU Kehutanan juga bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang pemerintahan daerah. “Pengaturan (dalam UU Kehutanan) tersebut telah menjauhkan daerah untuk melayani rakyatnya, dan tidak mewujudkan tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah,” tegasnya.
Seharusnya, lanjut Pantja, dalam pengelolaan hutan ataupun sumber daya alam lainnya, pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengelolanya (khususnya dalam hal perizinan). Pemda dapat menentukan prioritas dalam pengelolaan hutan di daerahnya masing-masing. Jika pengelolaan dilakukan oleh Pemda, maka akan berjalan secara efektif dan efisien. Sehingga, berpengaruh dan berkontribusi positif dalam meningkatkan pendapatan daerah. “Yang akhirnya akan berengaruh pula pada kesejahteraan rakyat,” katanya.
Oleh karena itu, ia menegaskan, perimbangan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil. “Campur tangan pemerintah harus dibatasi,” ungkapnya.
Sedangkan Ahli dari Pemohon lainnya, Saldi Isra, menuturkan, terdapat ketidakpastian hukum dalam pengaturan pengelolaan sumber daya alam, yang salah satunya adalah hutan. Menurutnya, pengaturan terkait hal itu setidaknya terdapat dalam UU Kehutanan dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diantara kedua UU ini, ia menerangkan, tidak ada satupun yang lex specialis. Oleh sebab itu, menurutnya, tidak berlaku asas lex specialis derogate legi generalis (aturan yang lebih khusus menyampingkan aturan yang lebih umum).
“Terjadi problem disharmoni perundang-undangan,” ungkapnya. Oleh karenannya ia mengingatkan, pentingnya harmonisasi dan sinkronisasi dalam proses pembentukan undang-undang. Namun menurut Saldi, jika ditanya mana aturan yang lebih bersesuaian dengan UUD 1945, maka ia secara tegas menyatakan bahwa UU Pemda lebih ‘dekat’ dengan Konstitusi, khususnya Pasal 18 dan Pasal 18A.
Di akhir penyampaiannya, ia pun berharap agar Mahkamah tidak hanya memutuskan untuk membatalkan pasal yang diuji tersebut. Ia berharap, Mahkamah dapat menjadi positif legislator, yakni merumuskan bagaimana seharusnya pengaturan terkait pengelolaan hutan agar sesuai dengan amanat Konstitusi.
Belum Siap
Pada kesempatan yang sama Pemerintah juga menghadirkan seorang Ahli, yakni Asep Warlan Yusuf. Asep mengingatkan, dalam membaca dan memaknai Pasal 38 Ayat (3) dan Pasal 50 Ayat (3) huruf g UU Kehutanan haruslah dilakukan secara komprehensif. “Tidak bisa dibaca secara terpisah dengan aturan lainnya,” ujarnya.
Menurut Asep, ketika berbicara tentang pengelolaan hutan di daerah, maka tidak hanya bersentuhan dengan urusan ekonomi saja, yakni kesejahteraan rakyat, akan tetapi juga bersinggungan dengan masalah-masalah lainnya. Seperti: kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia, kesiapan teknologi, serta jaringan sosial. “Tidak semata-mata terkait investasi di daerah,” ujarnya. “Perlu ada pengetahuan standard mengenai teknis, manajerial dan yuridis.”
Oleh karena itu, menurutnya, wajar jika dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan, haruslah melibatkan pemerintah pusat. Belumlagi jika melihat kepentingan internasional dewasa ini. Masalah lingkungan merupakan salah satu isu yang menjadi concern pemerintah pusat. Menurutnya, pemerintah pusat juga bertanggungjawab terhadap hal itu. Dan, ia bependapat, dalam konteks ini pemerintah daerah belum siap melaksanakannya.
Perwujudan tenggungjawab tersebut, lanjutnya, adalah melalui perizinan oleh pemerintah pusat. Perizinan dilakukan, kata Asep, ialah dalam rangka pengendalian, pencegahan dan memberikan kepastian hukum.
Namun pandangan tersebut dibantah oleh Pantja. Menurut Pantja, salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan rakyat. Sehingga, masalah pengendalian dan pengelolaan hutan haruslah diberikan kepada daerah sepenuhnya. Dan, jika daerah tidak pernah dianggap siap, kapan akan siap dan mandiri. “bagaimana bisa mandiri jika selalu diintervensi,” imbuhnya. Dan ia menegaskan, jangan pernah sekalipun menyepelekan masyarakat di daerah. “Mereka bahkan jauh lebih arif,” tegasnya. (Dodi/mh)