Jakarta, MK Onlin - Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak seluruh permohonan Pemohon dalam pengujian Pasal 67 huruf b dan Pasal 69 huruf b Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Demikian dinyatakan dalam sidang pembacaan putusan, Jum’at (15/4) pagi, di ruang sidang Pleno MK. “Dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Pemohon dalam perkara No. 56/PUU-VIII/2010 tersebut adalah R. Ngadino Hardjosiswojo. Dalam permohonannya, Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) ini, mengungkapkan bahwa tidak adanya batas waktu penyelesaian proses perkara perdata sampai memperoleh kekuatan hukum tetap telah merugikan hak konstitusionalnya, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, dia meminta kepada Mahkamah untuk menambahkan batas waktu lamanya penyelesaian proses perkara perdata.
Selain itu, menurut Pemohon, tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 69 huruf b UU 14/1985 adalah inkonstitusional atau bertentangan dengan Konstitusi, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Pemohon mohon agar Pasal 69 huruf b tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat supaya Pemohon (pencari keadilan) kapan pun bisa mengajukan peninjauan kembali dengan tidak dibatasi waktu 180 hari asal telah mempunyai kekuatan hukum tetap,” ungkap Pemohon dalam permohonannya.
Namun Mahkamah berpendapat lain. Terkait persoalan batas waktu penyelesaian perkara perdata, merupakan pilihan konstitusional (optionally constitutional) atau kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari pembentuk UU yang memang diberikan kepada pembentuk UU untuk menentukan isinya. “Apapun pilihannya tetap konstitusional, sehingga tidak dapat dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu, dalil Pemohon a quo tidak beralasan hukum,” papar Hakim Konstitusi Harjono.
Sedangkan atas pengaturan dalam Pasal 69 yang juga dipersoalkan oleh Pemohon, Mahkamah menilai, norma dalam pasal ini telah memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang, tanpa kecuali, lanjut Mahkamah, dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan kepastian batas waktu yang proporsional dan masuk akal (reasonable), seperti 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditemukan surat-surat bukti sebagai pilihan kebijakan hukum pembentuk UU.
“Batasan waktu demikian dalam kepentingan perdata yang bersifat privat, justru untuk memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) atas putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga perkara tidak berlarut-larut. Oleh karena itu, dalil Pemohon a quo tidak beralasan hukum,” tegas Mahkamah. (Dodi/mh)