Padang, MK Online - "Menjadi hakim konstitusi dituntut harus kreatif, terutama dalam menghadapi suatu jenis perkara yang sama dengan permasalahan yang bervariasi," terang Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki pada Seminar dan Workshop "Penguatan Kewenangan dan Kedududukan Mahkamah Konstitusi Dalam Perlindungan Demokrasi Konstitusional di Indonesia", Kamis (14/04) di Universitas Andalas, Padang.
Achmad Sodiki menerangkan, sebelum menjadi hakim konstitusi dirinya adalah seorang dosen yang mengajar mata kuliah filsafat hukum agraria dan beberapa mata kuliah lain. Harus diakui, kebingungan yang dirasakan ketika menjadi hakim konstitusi, terutama ketika harus pertama kali mengikuti rapat permusyawaratan hakim. Saat itu masing masing hakim konstitusi ditanyai pendapat tentang masalah sengketa pemilukada, dan satu-satunya andalan untuk mengemukakan pendapat adalah melalui pendekatan filsafat.
"Ada juga pelanggaran pemilukada lain yang melibatkan kepala daerah beserta jajarannya, terhadap hal itu Mahkamah Konstitusi tidak bisa diam, maka ada pelanggaran yang dapat tolerable dan intolerable.”tandas Sodiki.
Sodiki juga menambahkan bahwa dari sisi filsafat itulah MK mengambil putusan. Itu sebabnya dalam persidangan rapat permusyawaratan hakim harus selalu dibuat analisis-analisis. Memang ada aturan tentang jenjang peraturan yang selalu dipakai sebagai acuan, terutama dalam perkara pengujian undang-undang, namun akhirnya semua mengacu pada Undang Undang Dasar 1945, sebab ada hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang.
Terhadap perkara yang tidak diatur secara jelas dalam undang undang, hakim konstitusi sekali lagi dituntut untuk melakukan kreasi-kreasi hukum. Sodiki juga mencontohkan salah satu perkara seperti kepala daerah yang tidak boleh maju lebih dari dua kali dalam masa jabatan yang sama, ini tentunya mudah dipahami dan gampang. Tapi ada seorang kepala daerah yang datang meminta masa jabatannya jangan dihitung dua kali, karena yang pertama hanya meneruskan bupati yang meninggal. “Hal tersebut membuat kami berpikir, tidak ada dalam undang undang yang menyatakan separuh masa jabatan atau sepertiga masa jabatan, oleh sebab itu MK memutuskan jika menjabat sebagai kepala daerah lebih dari separuh masa jabatan, maka dihitung sebagai satu periode.”tegasnya.
Karena putusan tersebut, banyak orang yang berpendapat Mahkamah telah mengambil kewenangan legislatif, karena hal tersebut merupakan positive legislation, namun akan lebih salah lagi jika MK tidak memutus. Variasi-variasi terhadap perkara seperti itu banyak ditemui. Itulah sebabnya muncul kreatifitas-kreatifitas untuk pembuatan putusan.
Dalam seminar yang berlangsung selama satu hari ini, Sodiki banyak menceritakan tentang pengalamannya selama menjadi hakim konstitusi dan banyaknya kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, dan bagaimana MK bisa menyikapinya secara bijak, karena hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, jika tidak taat pada aturan hukum, maka akan menimbulkan kekacauan.
Selain Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, hadir pula sebagai narasumber lainnya Prof. Eman Suparman (Ketua Komisi Yudisial RI), Benny. K. Harman (Ketua Komisi III DPR RI), Prof. Saldi Isra (guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Andalas) yang membahas tentang bagaimana format masa depan Mahkamah Konsitusi, pentingnya pengawasan hakim mahkamah konstitusi dan perkembangan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Seminar dan Workshop ini dihadiri pula oleh ratusan peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa dan beberapa tokoh penting lainnya.(ddy/mh)