Jakarta, MKOnline - Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjadi narasumber dalam talk show dalam acara Bulan Kajian Ilmiah Mahasiswa (BKIM) Fakultas Hukum (FH) UI, pada Senin (11/4) siang di kampus FH UI. Topik pembahasan mengenai Pengujian Undang-Undang No.1/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang telah diputus Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu.
Pada kesempatan itu, Fadlil menjelaskan lima norma yang dimohonkan dalam Pengujian UU Penodaan Agama itu. Di antaranya, larangan melakukan penafsiran dan kegiatan agama menyimpang di muka umum. Selain itu, pelanggar diperintahkan dan diperingatkan untuk menghentikan dengan SKB Jaksa Agung, Mendagri dan Menag. Berikutnya, bila pelanggar adalah organisasi atau aliran kepercayaan dapat dibubarkan oleh Presiden atas pertimbangan tiga pejabat tersebut.
Selanjutnya Fadlil mengungkapkan sembilan dasar konstitusionalitas Pengujian UU tersebut- seperti tertuang dalam UUD 1945, antara lain negara hukum (Pasal 1 Ayat 3), persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27 Ayat 1), pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum (Pasal 28D Ayat 1).
Dasar konstitusionalitas pengujian UU Penodaan Agama berikutnya, kebebasan memilih agama dan beribadah, pendidikan, pekerjaan, kewarganegaraan, tempat tinggal, tinggal dan kembali (Pasal 28E Ayat 1), kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani (Pasal 28E Ayat 2).
Terkait Pengujian UU tersebut, Fadlil memaparkan sejumlah pendapat hukum Mahkamah, yaitu Pemohon mencari bentuk dan tafsiran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dasar pendapat yakni perkembangan arus penguatan HAM di Indonesia dan diskursus baru relasi agama dan negara pasca perubahan UUD 1945. Pendapat Mahkamah bahwa konteks pembentukan UU tak menghalangi berlakunya karena materi masih relevan, telah divalidasi ulang menjadi UU No.5/1959 dan berdasar Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945.
Pendapat hukum Mahkamah berikutnya, ungkap Fadlil, UU tersebut tidak melarang penafsiran dan kegiatan agama, yang dilarang hanya mencari dukungan umum dalam penafsiran dan kegiatan agama yang menyimpang. Kemudian masalah keyakinan, merupakan forum internum yang tak dapat dibatasi, meski tak imun dari konteks. Ekspresi keyakinan adalah forum eksternum yang dapat dibatasi karena telah menyangkut relasi sosial.
Masih terkait pengujian UU No.1/1965, Fadlil menjelaskan pendapat hukum Mahkamah bahwa UU tidak mengenal etatisme dalam soal agama. Negara tak menentukan tafsir yang benar dan tak menentukan pokok ajaran, melainkan ulama internal agama yang bersangkutan yang menentukan. “Juga, UU a quo tidak mengenal agama resmi dan tak resmi, semua yang ada diakui dan dilindungi,” jelas Fadlil.
Mahkamah juga berpendapat bahwa UU Penodaan Agama merupakan implementasi tanggung jawab negara dalam melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum. Pembatasan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Alhasil, ujar Fadlil menjelaskan, Mahkamah menolak seluruh pasal-pasal yang dimohonkan Pemohon dalam Pengujian UU No.1/1965 tersebut. Norma dalam pasal-pasal yang diujikan menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konstitusi. (Nano Tresna A./mh)