Jakarta, MKOnline - Wakil Ketua MK Achmad Sodiki secara resmi menutup acara Temu Wicara antara MK dan KPU bertemakan “Peningkatan Pemahaman Berkonstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi bagi Anggota Komisi Pemilihan Umum Pusat dan Daerah”, Minggu (10/4), di Hotel Aryaduta, Jakarta. Temu wicara ini sudah berlangsung selama tiga hari (8 – 10 April 2011) yang diisi dengan beragam materi tentang kewenangan MK dan Pemilu dengan narasumber baik dari MK, KPU, hingga Bareskrim Polri.
Pada kesempatan ini, Sodiki menyampaikan kebutuhan pemilihan pemimpin bagi seluruh rakyat Indonesia melalui cara pemilihan umum perlu dikaji ulang. “Yang menjadi pertanyaan besar, apakah pemilu memang kebutuhan (seluruh) masyarakat Indonesia? Bukankah kebutuhan mereka yang utama adalah pendidikan pangan, maupun dan sandang? Pemilu ini hanya merupakan kebutuhan segelintir orang saja, padahal belum tentu seluruh masyarakat Indonesia memilih pemimpin dengan cara Pemilu. Apalagi masih ada sebagian masyarakat kita masih buta huruf. Bagaimana bisa suatu ketentuan tertulis ditetapkan kepada masyarakat yang tidak tahu baca tulis? Ini menjadi problem seperti misalnya ketentuan dalam Pemilu itu. Apakah suatu ketentuan hukum yang sama untuk masyarakat yang berbeda, bisa disebut adil?” urainya.
Menurut Sodiki, seharusnya konteks Pemilu harus diartikan sebagai suatu cara untuk memilih yang baik dengan cara-cara yang berbudaya, tidak melalui dengan cara-cara kekerasan baik berupa intimidasi maupun mobilisasi dengan ancaman. “Harus diberi kewenangan pada masing-masing orang untuk memilih pilihannya masing-masing. Ini proses cara yang lebih manusiawi dan memanusiakan manusia. Namun, banyak yang melakukan cara dengan kekerasan mirip dengan perilaku kebinatangan. MK tidak mentolerir hal-hal semacam ini. MK tidak merelakan cara-cara seperti itu untuk dijadikan sesuatu yang benar. Oleh karena itu, ketika MK hanya diberi kewenangan hanya sebatas sampai penghitungan suara, maka hal ini menjadi beban bagi MK. Jangan heran jika MK menerobos hukum. Semua demi keadilan,” jelasnya.
Selain itu, Sodiki juga memaparkan bahwa MK tidak terpancang terus melihat bunyi undang-undang. MK, terang Sodiki, juga melihat melalui hati nurani. Menurut Sodiki, batasan tolerir MK dalam melihat pelanggaran pemilu, jika pelanggaran itu terjadi sedemikian rupa sehingga hukum kehilangan daya ikat dan hanya mengedepankan kekuasaan saja.
“Untuk itu, MK wajib menggali dan mengikuti nilai yang hidup di masyarakat. Itu merupakan ruang gerak kami (Hakim MK, red.). Jika kami terbelenggu kepada undang-undang, maka keadilan tidak bisa dicapai. Kami tetap berpedoman pada undang-undang, tapi untuk kasus tertentu yang membahayakan demokrasi, tidak akan kami tolerir. Kami akan melakukan terobosan hukum,” terangnya.
Bukanlah Segala-galanya
Acara temu wicara yang berlangsung selama tiga hari ini diisi materi dari MK, KPU, hingga Bareskrim Polri. Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar yang berkesempatan menjadi narasumber mengenai hukum acara dan studi kasus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden/Wakil Presiden, Legislatif dan Kepala Daerah memaparkan mengenai cara berperkara di MK termasuk mengenai penyelesaian sengketa hasil Pemilu.
Pada Sabtu (9/4), dua hakim konstitusi, yakni Maria Farida Indrati dan Hamdan Zoelva juga menyampaikan materi. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memaparkan materi tentang hukum acara mengadili sengketa kewenangan antarlembaga Negara, pembubaran partai politik, dan memutus pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang memaparkan materi mengenai hukum acara pengujian undang-undang mengungkapkan independensi hakim konstitusi di MK. Menurut Maria, setiap hakim boleh mempunyai pendapat berbeda. “Kami (Hakim konstitusi, red.) bebas memberikan pendapat dan argumentasi dalam suatu perkara. Hal ini menunjukkan independensi hakim konstitusi. Oleh karena itu, bila dilihat, ada beberapa putusan MK yang di dalamnya ada dissenting opinion ataupun concuring opinion,” jelasnya.
Pada kesempatan temu wicara dengan beragam materi peningkatan pemahaman soal MK dan konstitusi dan membangun budaya sadar berkonstitusi ini juga dihadiri Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar. Janedri memberikan materi mengenai “Mahkamah Konstitusi: Framework For Court Excellence”. Dalam kesempatan itu, Janedjri menjelaskan demokrasi bukanlah segalanya karena terkadang mempunyai cacat bawaan, dengan mendahulukan suara terbanyak. Padahal, lanjut Janedjri, terkadang keadilan tersembunyi bukan pada suara mayoritas, tetapi pada suara minoritas.
“Dalam UUD 1945, tercantum bahwa Indonesia merupakan negara hukum, maka artinya Indonesia juga menganut nomokrasi. MK merupakan perwujudan nomokrasi tersebut. Demokrasi bukan segala-galanya, karena kadang-kadang keadilan tersembunyi. Kehadiran MK untuk mengimbangi demokrasi menjadi negara hukum yang demokratis,” jelasnya.
Janedjri juga menekankan bahwa hukum tertinggi di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai Konstitusi. “Oleh karena itu, apabila dalam menjalankan demokrasi melanggar konstitusi, maka MK diwajibkan untuk meluruskan dalam bentuk kewenangan yang dimiliki MK,” ujarnya. (Lulu Anjarsari/mh)