Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan anak kandung dari reformasi yang bertugas menyelamatkan demokrasi dari unsur-unsur negatif. Hal ini disampaikan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD ketika membuka acara temu wicara antara MK dengan KPU yang mengambil tema “Peningkatan Pemahaman Berkonstitudi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi bagi Anggota KPU Pusat dan Daerah”, Jumat (8/4), di Hotel Aryaduta, Jakarta.
“Kita (MK dan KPU, red.) merupakan anak kandung reformasi yang bertugas untuk menyelamatkan demokrasi yang sakit selama masa Orde Lama. Ini merupakan satu kemajuan dalam demokrasi kita. Namun ada juga beberapa kemunduran demokrasi yang terjadi setelah kita melalui masa reformasi selama 12 tahun. Misalnya saja, korupsi yang merajalela di lembaga politik, kemudian DPR yang tidak mau lagi mendengar suara rakyat,” jelas Mahfud di hadapan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dan seluruh pimpinan KPU Daerah seluruh Indonesia.
Selain kemunduran tersebut, lanjut Mahfud, demokrasi Indonesia juga mengalami kemajuan yang berarti, meski seharusnya demokrasi Indonesia sudah memasuki masa konsolidasi, bukan lagi masa transisi. “Seharusnya sejak tahun 2006, Indonesia sudah memasuki masa konsolidasi. Artinya itu adalah masa pemantapan komitmen bahwa aturan-aturan baru yang sudah pelaksanaan dibuat pada proses pertama itu dilaksankaan dengan sebaik-baiknya dan diterima sehingga perbaikan itu tidak lagi membongar asas-asas di dalam proses penataan politik. Jika kita mengikuti prinsip yang dikemukakan oleh Huntington, kita sudah terlambat lebih dari lima tahun,” urainya.
Contoh lain bentuk kemajuan demokrasi di Indonesia, jelas Mahfud, adalah dengan tercatatnya Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, di bawah India dan Amerika Serikat. Selain itu, menurut Mahfud, Indonesia sebagai negara muslim terbesar juga berhasil menunjukkan bahwa Islam mampu compatible dengan paham demokrasi. “Misalnya saja, tidak ada diskriminasi agama dalam pemilu di Indonesia. Siapapun dari latar belakang agama apapun, bisa ikut serta dalam pemilu,” terangnya.
Menyinggung tentang sengketa pemilukada yang masuk ke MK, Mahfud menjelaskan bahwa kerja KPU baik pusat maupun daerah sudah cukup bagus. Dari 32 kasus yang dikabulkan MK, jelas Mahfud, hanya 6 saja yang membuktikan adanya kecurangan yang dilakukan oleh KPU daerah. “Hal itu karena KPU dikangkangi oleh incumbent ataupun pasangan calon pemilukada lainnya, semisal dana untuk KPU yang ditekan maupun KPU yang dibohongi dengan data palsu. Maka inilah yang harus dilawan bersama,” paparnya.
MK, urai Mahfud, juga menemukan gejala kecurangan KPU, di antaranya tidak meloloskan pasangan calon yang sebenarnya sudah memenuhi syarat secara sepihak. Menghadapi perkara ini, maka MK memutuskan untuk memberikan legal standing (kedudukan hukum, red.) terhadap Pemohon. “Kami (MK, red.) sudah minta izin ke Pak Anshary mengenai masalah ini dan menyatakan akan memberikan legal standing kepada Pemohon serta memutuskan diadakan pemilukada ulang. Semua kami lakukan demi hukum, demi keadilan, demi demokrasi dan demi konstitusi,” paparnya.
Menanggapi beberapa putusan MK yang keluar dari kewenangan diamanatkan undang-undang kepada MK Mahfud menjelaskan MK bisa membuat hukum, jika hukum yang tersedia macet. “Ada anggapan MK punya hukum sendiri dengan membuka pintu keadilan sendiri. Tapi memang putusan MK bernilai undang-undang. Sebagai negative legislator yang berwenang membatalkan undang-undang, maka putusan MK juga bernilai putusan. Semua itu karena MK sebagai penafsir konstitusi. Kami berpedoman pada UUD 1945 sebagai Konstitusi, jika keadilan tidak ditemukan dalam undang-undang yang ada,” ujar Mahfud.
Oleh karena itu, Mahfud berharap acara ini mampu memberikan pendalaman dan evaluasi kepada anggota KPU dan MK juga mengenai pemlihan umum dan pemilukada.
Sementara itu, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dalam sambutannya, berterima kasih kepada MK karena telah menyelamatkan KPU serta membuktikan bahwa KPU sudah bekerja dengan baik dalam menyelenggarakan Pemilukada. “Dari 22 putusan yang dikabulkan MK pada 2010, Alhamdulillah hanya enam putusan yang membuktikan KPU telah melakukan kecurangan. Oleh karena itu, KPU menganggap MK sebagai penyelamat.Kalau KPU yang memutuskan pasti kembali digugat, tapi kalau MK yang memutuskan tidak ada yang berani menggugat,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)