Jakarta, MKOnline - Sidang perkara pengujian Undang-Undang Advokat (UU 18/2003) telah memasuki sidang ke lima, dengan agenda sidang mendengarkan keterangan saksi dari Pihak Terkait. Bertindak sebagai Pihak Terkait dalam perkara ini adalah beberapa organisasi advokat, diantaranya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Sidang yang digelar pada Selasa, (5/4) ini diketuai oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.
Dalam perkara dengan nomor 66-71-79/PUU-VIII/2010 tersebut, Majelis Hakim telah mendengarkan 10 kesaksian. Tujuh saksi dari PERADI dan tiga saksi dari KAI. Untuk sidang selanjutnya, akan digelar pada Rabu (13/4) di ruang sidang MK.
Pada kesempatan itu, PERADI menghadirkan saksi Achiel Suyanto, Tazman Gultom, Thomas Edison Tampubolon, Fauzie Yusuf Hasibuan, Lintong Oloan Siahaan, M. Lutfie Hakim dan Tamsil Syoekur. Sedangkan dari KAI menghadirkan Musidah, Erwin dan Tomi Sihotang.
Dalam kesaksiannya, Achiel mengungkapkan tentang sejarah pembentukan satu wadah profesi advokat. Menurutnya, memang sering terjadi perbedaan pandangan dan pendapat antar advokat terkait pembentukannya. Namun, hal itu telah menemui titik temu dengan terjadinya kesepakatan antara PERADI dan KAI untuk membentuk satu wadah organisasi advokat pada 2010 yang lalu. Salah satu butir kesepakatannya adalah mengakomodir secara berimbang pengurus PERADI dan KAI dalam kepengurusan organisasi yang baru tersebut. Penandatangan kesepakatan itu dilakukan pada 24 Juni 2010 di gedung Mahkamah Agung.
Kesaksian itu juga didukung oleh Wakil Sekjend Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Tasman Gultom. Menurutnya, hingga saat ini HAPI masih mengakui PERADI sebagai wadah tunggal advokat. Ia juga mengatakan, dalam sejarahnya ada delapan organisasi advokat yang berkumpul dan menyatakan bahwa PERADI sebagai wadah tunggal.
Selain itu, saksi dari PERADI juga menyatakan bahwa selama ini pihaknya telah melaksanakan pendidikan dan ujian advokat secara baik dan profesional. “Kami telah melakukan ujian sesuai persyaratan di perundang-undangan,” kata Thomas Edison. Bahkan, menurutnya, pihaknya juga telah melibatkan pihak ketiga bertaraf internasional dalam melaksanakan ujian advokat. Sehingga, bebas dari unsur-unsur manipulatif. “Zero KKN” tegasnya.
Pernyataan tersebut diamini oleh Fauzie Yusuf Hasibuan. Menurutnya, selama ini PERADI telah melaksanakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) sesuai UU Advokat dan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). “Kami sudah melakukan harmonisasi,” ujarnya. “Kedepannya, pendidikan advokat akan terintegrasi dengan magister hukum di beberapa perguruan tinggi.”
Sementara itu, para saksi dari KAI menuding bahwa dengan adanya rumusan satu wadah profesi advokat, telah mengakibatkan hak-haknya sebagai advokat dan warga negara terlanggar. Sebab, menurut mereka, seharusya mereka telah berhak beracara di persidangan, menjadi tak bisa karena ditolak oleh pihak pengadilan. Alasannya, antara lain, tidak memiliki kartu PERADI dan belum dilantik oleh pengadilan. “Penolakan itu telah melanggar hak-hak saya dan klien saya,” imbuh Erwin.
Selanjutnya, Vice President KAI, Tomi Sihotang, berpendapat, seharusnya yang dipersoalkan oleh pengadilan untuk menerima seorang advokat apakah boleh bersidang ataukah tidak bukanlah berdasar pada apakah lulusan PERADI atau bukan. Menurutnya, yang terpenting adalah kejelasan pemberian kuasa dari sang klien. Selama kuasa telah diberikan secara benar, maka dia dapat mewakili dan membela kliennya di persidangan. Ia juga menegaskan, dalam kesepakatan tanggal 24 Juni 2010 yang lalu, KAI tidak pernah mengakui PERADI sebagai wadah tunggal. (Dodi/mh)