Jakarta, MKOnline - Dalam penelitian mengenai kasus Pemilukada di Mahkamah Konstitusi (MK), tidak hanya sekadar menganalisis kasus, tetapi juga harus mencari pada kebenaran. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Sosiologi Hukum UNDIP Esmi Warassih Pujirahayu ketika menjadi narasumber dalam Forum Group Disscussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian (Puslitka) MK, Kamis (31/3), Di Gedung MK.
“Dilihat dari kelembagaan MK, maka penelitian yang dilakukan oleh MK tidak hanya sebatas pada penelitian kasus, tetapi harus studi tentang kasus. Sesuatu yang benar tidak dapat digeneralisir, yang bisa digeneralisir hanyalah kebenaran mutlak. Misalnya (Pemilukada, red.) antara Jakarta dan Bandung saja tidak bisa disamakan karena persoalan berbeda, masalah yang menjadi persoalan berbeda, bahkan faktor penyebab permasalahan juga berbeda. Sekalipun namanya sama, Pemilukada. Namun tetap saja berbeda, di sinilah terlihat bahwa hukum itu simbol,” jelasnya.
Menurut Esmi, hukum adalah simbol. Untuk para hakim atau para pegawai yang bekerja di lembaga peradilan, jika ingin melakukan penelitian, maka akan lebih cocok menggunakan metodologi hermeneutik. “Hermeneutik di sini lebih mengarah kepada teks. Hermeneutik adalah cara untuk mencari makna internal dari teks, tetapi tidak terlepas dari konteks baik berupa sejarah, tata bahasa, hingga kerohaniannya. Maka inilah yang dimaksud harus dilihat dari sisi filosofisnya, normanya, dan sosiologisnya. Misalnya saja Pemilukada di Sumatera Utara dengan kabupaten berbeda, maka permohonannya akan berbeda. Yang harus diperhatikan bagaimana permohonana yang datang (ke MK, red.), dilihat tidak hanya secara tekstual, tetapi juga kontekstual,” paparnya.
Melalui hermeneutik, lanjut Esmi, sebuah permohonan harus ditarik keluar makna yang tersembunyi di dalamnya. Menurut Esmi, hal tersebut sama seperti membaca undang-undang yang dibuat oleh legislatif. “Harus dibaca makna yang tersembunyi di balik undang-undang tersebut. Karena makna yang tersembunyi itu, dalam hukum, disebut norma hukum. Teks itu tidak selalu akan menampakkan norma hukumnya. Terkadang tidak jelas. Jadi, untuk meneliti, harus menukik pada sejarahnya, lalu tata bahasanya hingga aspek filosofis atau nilai-nilai. Jadi, sebenarnya hukum itu sarat dengan nilai-nilai,” terangnya.
Menurut Esmi, perkara yang kerapkali ada merupakan produk legislatif yang sering menimbulkan konflik. Jadi, lenjut Esmi, penelitian harus melihat pada landasan nilai. “Hermeneutik adalah cara baru memahami bahasa, namun tidak lepas dari konteks. Jadi, menjelaskan dokumen hukum, menangkap jiwa. Jadi, kita tidak bisa melepaskan pemahan teks dengan produk hukum yang melahirkan teks,” ujarnya.
Esmi menuturkan seharusnya Litbang meneliti produk-produk legislatif sebelum masuk menjadi pengujian undang-undang (legislative review). “Jadi, hermeneutik adalah meneliti sebuah teks sampai makna terdalamnya. Di sini, persoalannya bahasa. Hukum adalah bahasa. Saya melihat heremeneutik sebagai filsafat karena yang akan diteliti adalah dokumen hukum,” terangnya. (Lulu Anjarsari/mh)