MK Tolak Uji UU Pemda oleh Pasangan Cabub Kobar Terdiskualifikasi
Kamis, 31 Maret 2011
| 17:19 WIB
Majelis Hakim Konstitusi memutus perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Pemda yang diajukan oleh pasangan calon bupati Kotawaringin Barat 2010 yang didiskualifikasi oleh MK, Sugianto-Eko Soemarno, Kamis (31/3). Dalam amar putusan Mahkamah, dinyatakan bahwa Mahkamah menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Jakarta, MKOnline - Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) Pemda yang diajukan oleh pasangan calon bupati Kotawaringin Barat 2010 yang didiskualifikasi oleh MK, Sugianto-Eko Soemarno, akhirnya masuk pada tahap pembacaan putusan, Kamis (31/3). Dalam amar putusan Mahkamah, dinyatakan bahwa Mahkamah menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
“Amar Putusan, Mengadili, Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi,” bunyi amar putusan Mahkamah seperti yang dibacakan oleh Ketua MK, Moh. Machfud MD dalam perkara yang teregistrasi dengan nomor 75/PUU-VIII/2010.
Sebelumnya, Pemohon meminta Mahkamah melakukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 106 ayat (2) 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi, “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.”
Sedangkan putusan MK pada perkara Pemilukada Kotawaringin Barat yang mendiskualifikasi pasangan calon Sugianto-Eko Soemarno (Pemohon) dianggap bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 dan melanggar hak dan kewenangan konstitusional para Pemohon yang telah dipilih secara demokratis.
Pemohon juga menganggap Mahkamah telah melampaui wewenangnya yang secara limitatif disebutkan dalam Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004. Putusan Mahkamah untuk mendiskualifikasi pasangan calon Sugianto-Eko Soemarno dianggap bertentangan dengan Pasal 77 ayat (3) UU MK yang menyatakan, dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) MK menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Menanggapi hak tersebut, dalam pertimbangan hukum Mahkamah, dijelaskan bahwa kewenangan dalam Pemilukada tidak semata-mata berdasarkan Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bersumber pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Menurut Mahkamah pengertian memutus tentang perselisihan “hasil” Pemilu lebih luas pengertiannya dari pada memutus (sengketa) “hasil penghitungan suara” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 106 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut beberapa undang-undang yang terkait dengan Pemilu, pengertian Pemilu mencakup proses mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan dan tahap akhir hasil pemilihan umum. Penghitungan suara hanyalah salah satu bagian dari tahap akhir pemilihan umum. Jika proses pemilihan umum diselenggarakan secara Luber dan Jurdil, maka hasilnya pun dapat mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya, sebaliknya jika Pemilukada diselenggarakan secara tidak Luber dan tidak Jurdil, maka hasilnya pun tidak dipercaya kebenarannya.
Penambahan Norma
Masih dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat keberatan para Pemohon tentang penetapan cabub dan wabub terkait dengan Pemilukada Kab. Kotawaringin Barat (vide Putusan Mahkamah Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010, bertanggal 7 Juli 2010) tersebut merupakan kasus yang tidak masuk dalam ranah pengujian undang-undang, karena putusan pengujian undang-undang, sifatnya erga omnes (berlaku untuk seluruhnya).
Selanjutnya, putusan MK Nomor 45/PHPU-DVIII/2010 bertanggal 7 Juli 2010 tersebut dianggap Mahkamah bukan merupakan penambahan norma Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, akan tetapi berdasarkan pada penafsiran konstitusi dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law or community’s law) yang dibenarkan oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Tindakan yang diambil juga sesuai dengan kedudukan dan fungsi MK yang menjaga dan mengawal konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi sehingga asas Pemilu yang Luber dan Jurdil dipatuhi baik oleh penyelenggara maupun peserta Pemilu termasuk institusi yang terkait Pemilu. Berdasar itu semua dalam konklusinya, Mahkamah menyatakan dalil Pemohon tidak beralasan hukum meski Pemohon diakui memiliki legal standing “Dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tukas Mahfud. (Yusti Nurul Agustin/mh)