Jakarta, MKOnline - Perkara yang dimohonkan tiga partai politik independen ini dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan dengan Nomor 24/PUU-VII/2009 dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi, Kamis (31/3), di Ruang Sidang Pleno MK.
Administrator Partai Independen Revolusi-45 Zulfikar, Ketua Umum Partai Republiku Indonesia Ramses David Simanjuntak, Sekjen Partai Kristen Indonesia Arnold L. Wuon, dan Koordinatir Partai Wilayah Jawa Barat dari Partai Uni Demokrasi Indonesia Saiful Huda tercatat sebagai pemohon untuk perkara pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Undang-UndangNomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Harjono, Mahkamah menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mempermasalahkan hak recall terhadap anggota DPR dan DPRD yang dimiliki oleh partai politik sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Seperti dalil pemohon bahwa kualifikasi para Pemohon adalah sebagai badan hukum, yaitu partai politik. “Dalam kaitannya dengan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji berkaitan dengan hak recall, bukankah dalam kualifikasi yang dipilihnya yaitu sebagai partai politik para Pemohon justru diuntungkan oleh aturan tentang hak recall tersebut. Kerugian yang ditimbulkan oleh ketentuan hak recall partai politik justru ada pada perseorangan anggota partai politik yang menduduki keanggotaan DPR atau DPRD dan bukan kerugian pada partai politik,” terangnya.
Harjono juga menjelaskan, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon telah tidak jelas memilih posisi atau kualifikasinya, hal demikian akan berakibat tidak jelas juga kerugiannya sebagai para Pemohon, oleh karenanya permohonan para Pemohon obscuur libel. Ketidaksetujuan terhadap sebuah sistem yang dianut oleh Undang-Undang saja tidak cukup untuk dijadikan dasar pengajuan pengujian Undang-Undang dalam ranah peradilan, tetapi menjadi ranah perubahan Undang-Undang atau legislative review.
Hak untuk membentuk fraksi dalam lembaga perwakilan rakyat yang dimiliki oleh partai juga dipermasalahkan oleh para Pemohon, terang Harjono, karena menjadikan partai lebih berkuasa daripada wakil rakyat hasil pemilihan umum. “Dalam hubungannya dengan kualifikasi para Pemohon sebagai partai politik, posisi yang diambil para Pemohon menimbulkan persoalan, bukankah para Pemohon adalah sebagai partai politik yang diberi hak oleh Undang-Undang, tetapi dalam dalilnya para Pemohon justru memposisikan diri sebagai anggota DPR atau DPRD yang tidak setuju partai politik diberi hak untuk membentuk fraksi sehingga mengurangi kebebasannya. Dengan demikian, para Pemohon beralih dari kualifikasi partai politik menjadi kualifikasi perorangan anggota partai politik. Hal demikian, pasti juga menimbulkan ketidakjelasan posisi para Pemohon dalam permohonannya (obscuur libel),” terangnya.
Selain itu, lanjut Harjono, Para Pemohon juga memasalahkan larangan partai politik menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Partai Politik. Apabila dihubungkan dengan kualifikasi para Pemohon dan kepentingan yang harus ada dalam kualifikasi yang dipilihnya, sehingga para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya. “Dan, dengan dipenuhinya syarat tersebut, maka para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), harus dijelaskan mengapa para Pemohon dirugikan apakah para Pemohon adalah mewakili partai yang menganut ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme sehingga dirugikan oleh ketentuan yang dimasalahkan, kalau tidak, maka para Pemohon tidak mempunyai kerugian aktual atau potensial tertentu,” urainya.
Mahkamah, urai Harjono, berpendapat bahwa berdasar alasan atau dasar yang didalilkan oleh para Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon tidaklah jelas posisi (legal standing) yang dipilihnya sehingga menyebabkan kerugian yang didalilkan sering berpindah dari kualifikasi yang satu ke kualifikasi yang lain (obscuur libel). Demikian juga alasan yang dikemukakannya sangatlah umum. Mahkamah dapat saja memberi kedudukan hukum atau legal standing dan kemudian memeriksa pokok permohonan, berdasarkan dalil-dalil yang diajukan para Pemohon, namun karena putusan Mahkamah bersifat erga omnes yang akan menimbulkan akibat hukum yang berlaku secara umum, Mahkamah harus juga mempertimbangkan pihak-pihak yang berbeda kepentingan dan berbeda pendapat dengan dalil-dalil yang diajukan oleh para Pemohon.
“Untuk tetap membuka kemungkinan dapat dilakukan pengujian Undang-Undang lagi terhadap substansi pokok permohonan. Artinya, Mahkamah tetap membuka pintu keadilan dengan melalui cara pengajuan permohonan pengujian UndangUndang yang jelas mengenai kualifikasi Pemohon yang dihubungkan dengan dasar permohonannya,” paparnya.
Oleh karena itu, dalam konklusi yang dibacakan Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menjelaskan bahwa Permohonan para Pemohon adalah kabur (obscuur libel) dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan. “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” tandas Mahfud membacakan amar putusan tersebut.
Para Pemohon meminta kepada MK untuk membatalkan Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 50, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 122 pada Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Kemudian Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf d, Pasal 4 ayat (1), (3) dan (4), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12 huruf e, Pasal 13 huruf i, Pasal 23 ayat (2) dan (3), Pasal 34 ayat (3) dan (4), Pasal 40 ayat (5), Pasal 43 ayat (3) Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat (7), dan Pasal 50. Dan juga ayat-ayat dan huruf-huruf pada Pasal 14 sampai dengan Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Serta Pasal 4 ayat (3), Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai dengan f, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 serta Pasal-pasal dari Pasal 172 sampai dengan Pasal 201 Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum. (Lulu Anjarsari/mh)