Jakarta, MKOnline - Pemakzulan Presiden adalah sebuah tindakan dalam rangka membatasi kekuasaan. “Kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan absolut pasti korup. Demikianlah pernyataan lama yang selalu dinyatakan dalam forum-forum ilmiah oleh mereka yang mempelajari hukum tata negara dan politik,” ungkap Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva yang menyampaikan Orasi Ilmiah “Pemakzulan Presiden Indonesia, Alasan-Alasan dan Mekanisme Pemakzulan” dalam Wisuda 2011 Pasca Sarjana, Sarjana dan Diploma Universitas Asy-Syafi’iyah di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (31/3).
Pembatasan kekuasaan itu, lanjut Hamdan, tertulis dalam Al-Qur’an bahwa “Janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” Kata ‘pemakzulan’ merupakan istilah yang relatif baru dalam khazanah sehari-hari. Walaupun dalam khazanah ilmiah Melayu, kata ‘pemakzulan’ sudah dikenal cukup lama.
“Pemakzulan sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yang berarti menyingkirkan, memisahkan, ataupun diberhentikan dari jabatan. Saya lebih suka menggunakan kata ‘pemakzulan’ ketimbang kata ‘pemberhentian’ atau ‘impeachment’. Kata ‘pemberhetian’ bisa berarti sebagai tempat berhenti, misalnya pemberhentian bus, jadi tidak begitu pas. Sedangkan ‘impeachment’ sebetulnya berarti pendakwaan, bukan pemecatan,” urai Hamdan kepada para hadirin.
Setelah Indonesia merdeka, telah dua kali terjadi pemakzulan Presiden Indonesia. Pertama, pemakzulan Presiden Presiden Soekarno pada 1967. Kedua, pemakzulan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid pada 2001. Soekarno dimakzulkan MPRS setelah menerima memorandum DPR GR. Dalam pidato Nawaksara 22 Juni 1966 di hadapan MPRS, Soekarno tidak dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan G-30 S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak.
“Sedangkan Gus Dur dimakzulkan MPR dalam Sidang Istimewa MPR karena dianggap melanggar UUD 1945 dan GBHN. Penolakan Gus Dur untuk tidak menghadiri permintaan MPR memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR dan pengumuman Maklumat Presiden agar membekukan MPR dan DPR, serta membubarkan Partai Golkar dianggap oleh MPR sebagai pelanggaran Presiden atas UUD 1945 dan GBHN,” imbuh Hamdan.
Hak Menyatakan Pendapat
Proses pemakzulan Presiden setelah Perubahan UUD 1945 diawali usul anggota DPR menggunakan hak menyatakan pendapat, mengenai dugaan bahwa Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela.
“Apabila usul penggunaan hak menyatakan pendapat diterima rapat paripurna, DPR membentuk Panitia Khusus untuk mengkaji masalah ini dengan melakukan penyelidikan, mencari bukti-bukti, meminta keterangan saksi dan pihak-pihak terkait termasuk membicarakan dengan Presiden,” ungkap Hamdan.
Dikatakan Hamdan lagi, jika kemudian rapat paripurna DPR - atas hasil pembahasan Panitia Khusus - menerima pernyataan pendapat DPR dengan persetujuan paling kurang 2/3 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna yang dihadiri paling kurang 2/3 anggota, maka DPR mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR.
“Hukum acara perkara pemakzulan Presiden di MK mengikuti hukum acara yang berlaku di MK, yang diatur dengan undang-undang dan peraturan MK. Juga, MK hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara pemakzulan Presiden apabila ada permohonan dari DPR yang menguraikan secara jelas mengenai dugaan bahwa Presiden melakukan pelanggaran hukum seperti disebutkan sebelumnya,” tandas Hamdan. (Nano Tresna A./mh)