Jakarta, MKOnline - Sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Jatim 2008, pada awal 2009 muncul kosa kata baru yang sangat populer, yakni pelanggaran Pemilukada yang bersifat sistematis, terstruktur dan masif. Dalam putusan itu pertama kali lembaga penafsir konstitusi menggunakan dasar pelanggaran itu dalam memutuskan perkara Pemilukada.
“Pelanggaran Pemilukada bersifat sistematis, terstruktur dan masif merupakan pelanggaran-pelanggaran yang memang direncanakan sejak semula, baik oleh negara, penyelenggara Pemilukada maupun peserta Pemilukada, bersifat meluas dan benar-benar merusak sendi-sendi Pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’. Dengan demikian, bukan pelanggaran yang hanya bersifat insidental, individual dan sporadis yang dalam batas-batas wajar masih dapat ditoleransi,” papar mantan Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar dalam acara Forum Group Discussion (FGD) di lingkungan pegawai MK, Selasa (29/3) siang.
Munculnya kosa kata ‘sistematis, terstruktur, masif’ dalam Pemilukada, terjadi saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk membahas rencana putusan MK pada perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Jatim pada akhir 2008.
“Dari persidangan panel yang dipimpin Hakim Maruarar Siahaan dengan anggota Arsyad Sanusi dan Muhammad Alim telah terungkap keterangan para saksi, bahwa terjadi pelanggaran Pemilukada yang serius khususnya di empat kabupaten di Madura yang dilakukan aparat pemerintah, aparat penyelenggara Pemilukada secara berencana dan meluas demi memenangkan salah satu pasangan calon dalam Pemilukada putaran kedua,” urai Mukthie Fadjar.
Pada waktu itu, Panel Hakim mengusulkan agar pasangan calon yang dinilai melakukan pelanggaran serius tersebut didiskualifikasi. Setidak-tidaknya, perolehan suaranya di empat kabupaten di Madura itu dianggap nol atau diberikan kepada pasangan calon lain yang dicurangi. “Terhadap usulan Panel Hakim itu, saya mengajukan pendapat bahwa memang sudah semestinya MK harus memasuki ranah pelanggaran-pelanggaran pemilu yang serius yang menggoyahkan sendi-sendi pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’ sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 56 Ayat (1) UU No. 32/2004,” jelas Mukthie.
Ketika itu Mukthie menawarkan tiga kriteria pelanggaran Pemilukada yang serius mengancam asas ‘luber’ dan ‘jurdil’ yaitu pelanggaran bersifat sistematis (direncanakan, bukan insidental), pelanggaran dilakukan aparat struktural (aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara pemilu, bukan bersifat individual), pelanggaran tersebut sangat meluas (masif, bukan sporadis).
Namun Mukthie tidak setuju bila sanksi yang dijatuhkan pada pelanggaran Pemilukada Jatim itu berupa pendiskualifikasian pasangan calon, sebab akan menzalimi para pemilih yang mungkin merupakan pemilih yang baik. Ia menyarankan lebih baik dilakukan pemungutan suara ulang dan/atau penghitungan suara ulang.
“Pendapat saya diterima oleh RPH, sehingga diputuskan pemungutan suara ulang di dua kabupaten yaitu Bangkalan dan Sampang, serta penghitungan suara ulang di dua kabupaten yaitu Pamekasan dan Sumenep sesuai dengan gradasi pelanggarannya,” ujar Mukthie.
Sebelum mengakhiri FGD itu, Mukthie menyimpulkan persidangan persidangan hasil Pemilukada tidak mungkin menghindar dari kemungkinan pengungkapan berbagai pelanggaran baik pidana maupun administrasi, semua tahapan Pemilu, sebagai konsekuensi MK menjaga prinsip-prinsip Pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’ sehingga kualitas Pemilukada semakin baik serta dapat memenuhi keadilan substantif. Juga perlu kerja sama lebih erat dan intens antara Bawaslu dan MK dalam mengungkapkan adanya pelanggaran Pemilukada, termasuk yang diungkap oleh Bawaslu/Panwaslu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Selain itu, perlu pemberian peran dan posisi baru kepada Panwaslu dalam persidangan PHPU di MK yakni sebagai ad informandum dan/atau amicus cureae (mitra bestari) MK dalam upaya meningkatkan kualitas Pemilu agar menjunjung tinggi asas ‘luber’ dan ‘jurdil’,” pungkas Mukthie. (Nano Tresna A./mh).