Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menganut sebuah pandangan, yakni hukum progresif. Hal ini disampaikan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD ketika menjadi pembicara dalam Rapat Koordinasi Hubungan Antarlembaga PDIP, Senin (28/3), di Kantor Pusat PDIP.
“Hukum progresif merupakan hukum yang berlandaskan untuk menegakkan keadilan, bukan hukum untuk menegakkan hukum. Hukum dan keadilan sering disamakan, tetapi kami di MK, membedakan. Hukum ada di dalam undang-undang, sedangkan keadilan berkaitan dengan hal-hal di luar undang-undang. Kami berpedoman selama UU memberi rasa keadilan, maka kita patuhi undang-undang itu. tetapi ketika undang-undang itu buntu dan tidak memberi jalan keluar, kita buat hukum baru. Dan itu dibenarkan oleh pakar-pakar hukum kita. Hakim tugasnya menciptakan hukum, jika hukum resmi tidak tersedia. Itu yang kami sebut hukum progresif, dan itu kami terapkan dalam berbagai putusan kami,” ujar Mahfud.
Mahfud juga menjelaskan bahwa dengan perkembangan yang dilakukan MK dalam membuat putusan, banyak pihak yang mempertanyakan. Diakui Mahfud, putusan-putusan baru MK merupakan terobosan ketika persoalan hukum menghadapi kebuntuan. “Misalnya menurut UU, MK hanya boleh menyatakan dua hal, yakni mengabulkan permohonan dan menolak permohonan. Di dalam praktiknya, MK tidak hanya mengabulkan dan menolak, tetapi bergerak di tengah. MK dulu didesain, tidak boleh membuat putusan yang mengatur, tetapi MK terpaksa membuat putusan mengatur karena kalau mengabulkan begitu saja, keadaan menjadi buntu. Tetapi kalau ditolak pun keadaan menjadi buntu. Seperti putusan Jawa Timur, semula menuai protes, tetapi menjadi acuan putusan-putusan MK sejenis. Kami (MK, red. ) bisa mencari jalan tengah dengan melakukan Pemilu ulang,” paparnya.
Menurut Mahfud, MK dibangun untuk menyeimbangkan antara kegiatan demokrasi dan hukum. Sebelum reformasi, jelas Mahfud, demoklarasi penuh kecurangan, keputusan atas nama suara terbanyak itupun telah direkayasa untuk kepentingan politik. Kemudian demokrasi itu menjadi demokrasi bohong-bohongan. Pada masa itu, lanjut Mahfud, banyak undang-undang yang sebenarnya isinya salah, namun karena sudah diputus oleh lembaga legislatif yang ‘kompak’—sebuah pusat kekuasaan—lalu UU tersebut harus dianggap benar dan tidak boleh dipersoalkan.
“Dulu hasil Pemilu sudah diatur, tidak boleh ada yang mempermasalahkan hasil Pemilu. Pokoknya kalau sudah disahkan oleh Presiden melalui menteri dalam negari harus diterima. Kecurangan-kecurangan tidak ada yang mempersoalkan. Begitupun kita punya pengalaman pahit memberhentikan presiden, Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, semata-mata karena politik, tidak ada pertimbangan hukum sama sekali. Bung Karno tidak pernah diberikan pertimbangan hukum sama sekali, Pak Harto tidak pernah, Gus dur juga sama. Sehingga kita membentuk suatu instrumen baru, yakni MK. Yang tugasnya mengadili UU, mengadili hasil Pemilu, menilai alasan hukum untuk memberhentikan presiden dalam masa jabatannya. Lalu, ada tambahan lain, membubarkan parpol dan konflik antar lembaga negara. Ini yang kami jadikan dasar kerja-kerja kami di MK,” urainya.
Pada 18 Maret lalu, jelas Mahfud, MK sudah memutus 778 perkara dengan 1.116 kasus. Mahfud menjelaskan bahwa sebesar 760 perkara merupakan sengketa Pemilu dan sisanya pengujian undang-undang. Yang menarik, urai Mahfud, dari 760 perkara sengketa Pemilu, MK mengubah keterpilihan anggota DPR Pusat sebanyak 12 kursi. Hal ini, menurut Mahfud, tidak terbayangkan akan terjadi pada era sebelum reformasi. “Jaman Orde Baru tidak ada orang yang sudah terpilih dikalahkan oleh pengadilan. MK pun telah membatalkan sebanyak 71 undang-undang,” ujarnya. (Lulu Anjarsari/mh)