Jakarta, MKOnline - “Kita tak bisa menegakkan hukum tanpa kekuatan politik. Ajaran agama mana pun senantiasa mengajarkan manusia untuk berpolitik. Agar setiap orang berjuang untuk menegakkan keadilan, mandiri dan tidak dijajah hak-haknya, semua itu adalah politik,” ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang memberikan kuliah kepada para peserta LEMHANNAS - Lembaga Ketahanan Nasional - Senin (28/3) siang di Gedung LEMHANNAS, Jakarta.
Dikatakan Mahfud, politik memiliki dua tingkatan yakni high politic dan low politic. Pengertian high politic bersifat inspirasi, misalnya pemimpin harus adil, harus jujur, demokratis dan sebagainya. Sedangkan low politic merupakan politik praktis, misalnya sikap mendukung partai politik tertentu, dan sebagainya.
“High politic itu biasa yang dituangkan dalam UUD, kemudian politik tingkat bawahnya adalah pemain-pemain politik sehari-hari, setiap orang bisa masuk partai politik apa saja,” jelas Mahfud.
Mahfud melanjutkan, sejak Indonesia merdeka sudah ditetapkan bahwa negara ini harus dibangun sebagai negara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi). Demokrasi dan nomokrasi merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.
“Karena politik dan hukum merupakan dua sisi dari sekeping mata uang. Kita tidak bisa menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi. Tetapi Indonesia merupakan negara demokrasi dan nomokrasi. Dua hal ini bersatu, tetapi berbeda. Demokrasi itu kepentingannya berdasarkan kekuatan, kemenangan. Hukum itu kepentingannya berdasarkan kebenaran. Dalam demokrasi, kita pasti bicara menang kalah. Tapi dalam hukum, kita pasti bicara benar atau salah,” papar Mahfud panjang lebar.
Mahfud mencontohkan bahwa sidang putusan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) benar secara demokrasi, karena pembuatannya telah disetujui para anggota DPR. Namun ternyata, kata Mahfud, UU BHP itu salah bila dilihat dari aspek nomokrasi karena bertentangan dengan UUD 1945.
“Terjadi penyeragaman paksa, pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat untuk pendidikan, ada yang mengatakan itu neo liberal dan sebagainya,” ucap Mahfud mengenai UU BHP.
Dengan demikian, lanjut Mahfud, negara harus tunduk kepada hukum sekaligus harus menegakkan hukum. Jadi logika yang dibangun, negara itu lahir dan dibentuk adalah untuk melindungi hak asasi manusia. Hal inilah yang menjadi konsep negara modern
“Indonesia sejak awal sudah memilih menjadi negara hukum. Oleh sebab itu, supremasi hukum ditegaskan para pendiri negara sebagai sesuatu yang sangat penting pada awal kemerdekaan,” urai Mahfud.
Setelah itu, sambung Mahfud, bangsa Indonesia menguatkan lagi prinsip supremasi hukum dengan membuat ayat baru dalam Pasal 1 UUD 1945. Disebutkan dalam ayat itu, “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Lalu ada tambahan ayat 3 pasal tersebut, “Indonesia adalah negara hukum”.
“Tambahan ayat 3 itu dulu tidak ada, tapi ada dalam Penjelasan UUD. Jadi sejak 1999, kita tidak lagi mempunyai Penjelasan. Kenapa? Alasannya, tidak umum di dunia ini bahwa UUD memiliki Penjelasan. Yang perlu Penjelasan adalah UU biasa,” tandas Mahfud. (Nano Tresna A./mh)