Jakarta, MKOnline - Kebebasan merupakan hal yang harus dipelihara hakim konstitusi dalam memberikan pendapat pada sebuah putusan. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi ketika menerima kunjungan mahasiswa Universitas Islam Sultan Agung, Kamis (24/3), di Gedung MK.
“Hakim (hakim konstitusi, red.) pada prinsipnya harus memutuskan (putusan, red.) secara sepakat, tapi hakim harus mempertahankan satu karakter, yakni kebebasan. Setiap hakim tidak bisa dipaksa untuk sepakat dalam berargumentasi. Untuk itulah, ketidaksepakatan seorang hakim dituangkan ke dalam dissenting opinion dalam putusan MK,” jelasnya.
Menurut Fadlil, Rapat Permuyawaratan Hakim (RPH) merupakan forum antara hakim konstitusi yang satu dengan hakim konstitusi lainnya untuk saling berargumentasi hingga sampai pada satu titik dalam mencapai sebuah keputusan. “Akan tetapi, jika terjadi posisi yang seimbang antara hakim yang menolak dengan hakim yang mengabulkan putusan, maka keputusan ada di tangan ketua,” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan mengenai adanya perbedaan putusan dalam pemilukada yang mendalilkan adanya praktik politik uang, Fadlil menjelaskan bahwa MK mengabulkan Pemilukada yang bersifat struktur, tersistematis, dan masif. “Praktik politik uang yang terstruktur melibatkan kekuasaan dalam penyelenggaraan Pemilukada, misalnya dari tingkat bupati sampai RT/RW maupun KPU sampai TPS. Kemudian, praktik tersebut dilakukan secara sistematis yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Dan satu lagi, sudah mengganggu konstitusionalitas, misalnya dengan adanya intimidasi, penculikan yang kemudian memengaruhi penghitungan suara,” paparnya.
Selain itu, Fadlil juga menjelaskan kelahiran MK sebagai produk dari reformasi 1998. Rakyat, jelas Fadlil, diberikan kesempatan untuk membela kepentingannya melalui sebuah forum. “Atas dasar hal tersebut, maka lahirlah MK sebagai hasi dari reformasi untuk memenuhi tuntutan sistem,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)