Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif dengan Bobot Bukti Berdasarkan Standar Beyond Reasonable Doubt dalam Pemilukada", Rabu (22/3). Hadir sebagai narasumber, yaitu mantan Hakim Konstitusi Dr. Maruarar Siahaan.
Maruarar Siahaan yang akrab dipanggil Maru itu mengatakan dalil-dalil mengenai terjadinya pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif dalam perkara Pemilukada yang ditangani MK menjadi dalil klise untuk meyakinkan hakim. Penggunaan dalil tersebut pertama kali terjadi pada persidangan sengketa Pemilukada Provinsi Jawa Timur di MK. Kemudian sejak saat itu, banyak Pemohon yang mengajukan dalil serupa dengan harapan Mahkamah dapat menganulir keputusan KPU setempat.
Padahal, pelanggaran sistematis, terstruktur, dan masif memiliki definisi yang pada kenyataannya tidak sama dengan yang dimaksudkan para Pemohon selama ini. Maru kemudian menjelaskan definisi ketiganya. Terstruktur diartikan pelanggaran yang dilakukan dalam struktur pemerintahan atau struktur partai politik dari tataran tertinggi sampai terendah untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Sistematis diartikan suatu sistem yang dirancang dengan matang. Sedangkan, masif berarti dilakukan di wilayah luas dan komprehensif di seluruh kecamatan di kabupaten bersangkutan yang meliputi RT, RW, Desa, dan Kelurahan secara merata.
Lebih lanjut Maru mengatakan kriteria pelanggaran terstruktur, sistematif, dan masif tersebut juga berpedoman pada alat bukti dengan bobot "beyond reasonable doubt" untuk membatalkan keputusan KPU. Dalam teorinya, hakim memerlukan kehati-hatian dan kearifan untuk menguji dalil dan bukti. Namun, menurut Maru pada prakteknya saat pembuktian di persidangan yang terjadi terlihat seperti permainan sepak bola. "Jadi, menurut saya, cukup sedikit melewati garis tengah itu sudah cukup untuk dijadikan alat bukti yang menguatkan," ujar Maru.
Dan wajar kalau kemudian banyak yang tidak sependapat dengan keputusan MK terhadap satu putusan perkara Pemilukada. Pasalnya, MK tidak hanya memutuskan perkara, namun sekaligus bisa membuat norma-norma baru dari keputusannya. Hal itu juga merupakan implikasi dari perpindahan pengadilan perkara Pemilukada dari Mahkamah Agung ke MK. "Beralih dari MA ke MK bukan hanya peralihan lembaga tapi juga implikasinya. MK memeriksa perkara sekaligus mengawal konstitusi sehingga MK bebas menafsirkan UU yang terkait dengan Pemilukada," jelas Maru di hadapan sekitar 30 orang peserta FGD kali itu yang terdiri dari para peneliti dan panitera pengganti MK. (Yusti Nurul Agustin/mh)